TRIBUNTRAVEL.COM - Pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gede telah mulai dibangun.
Tepatnya pada tahun 1927 namun dengan luas yang hanya sebesar 10.421 hektare.
Baca juga: Itinerary Denpasar 2 Hari 1 Malam, Solo Traveling ke Bali Bujet Rp 500 Ribu
Baca juga: AS Watson Rayakan Hari Apoteker Sedunia, Apresiasi Ribuan Tenaga Kesehatan Dunia
Bangunan tersebut dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten.
Meski Karsten orang Belanda, ia mendesain Pasar Gede dengan campuran gaya Eropa-Jawa.
Hingga kini, bentuk Pasar Gede berbentuk seperti benteng yang mengadopsi gaya Eropa dan gaya atap seperti joglo yang mengadopsi gaya Jawa.
Bangunan pasar selesai pembangunannya dan diresmikan oleh Gusti Susuhunan Paku Buwono ke X pada tahun 1930.
Pasar tersebut diberi nama Pasar Gedhe Hardjanagara yang konon, nama Hardjonegoro diambil dari nama seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonegoro dari Keraton Surakarta.
Pasar ini diberi nama pasar gedhé atau pasar besar dalam bahasa Indonesia.
Baca juga: Itinerary Samarinda 1 Hari: Wisata Budaya Dayak Kenyah & Ngopi Hits Berdua Cuma Rp 390 Ribu
Sejak berdiri, Pasar Gede menjadi pusat perdagangan antara masyarakat pribumi, China, dan Belanda pada masa itu.
Kawasan Pasar Gede kemudian dikenal sebagai kawasan Pasar Candi Padurasa.
Hal tersebut muncul karena kegiatan religiusitas masyarakat Hindu Majapahit dapat harmonis dengan aktivitas ekonomi masyarakat Pecinan.
Selain itu dengan memanfaatkan Sungai Pepe di dekatnya sebagai jalur transportasi.
Pasar ini dahulu dibangun dengan biaya 2.500 Gulden.
Tak sia-sia, pasar yang dibangun tersebut akhirnya menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta.
Pasar tradisional ini masih berdiri kokoh hingga saat ini menjadikan keberadaan Pasar Gede Solo sebagai salah satu pasar tertua di Solo.
Baca juga: Trisno Prasetio dan Daradjati Batik dari Gondokusuman, Jogja, DIY: Berkarya Lewat Motif Kawung
Keberadaan Pasar Gede Hardjonegoro merupakan simbol keharmonisan kultur masyarakat Solo yang terus melekat hingga saat ini.
Sebagai sebuah pasar, Pasar Gede Solo memiliki ciri khas bangunan yang berbeda.
Pintu masuk utamanya merupakan sebuah singgasana besar dengan atap lebar, yang dibarengi dengan bangunan utama menyerupai benteng.
Pasar gede ini memiliki dua bangunan yang terpisahkan jalan, yang sekarang disebut sebagai Jalan Sudirman.
Masing-masing dari kedua bangunan ini terdiri dari dua lantai.
Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gedhe dalam bahasa Jawa.
Pasar Gede pernah mengalami kerusakan cukup parah sewaktu terjadi agresi Belanda tahun 1947.
Selain itu, pada tahun 2000-an, Pasar Gede juga pernah terbakar.
Hingga saat ini, Pasar Gede ini memiliki bentuk yang sama hingga 80 persen seperti semula saat dibangun.
Tak hanya menjadi tempat transaksi warga Kota Solo, kemegahan Pasar Gede sering menjadi tempat wisatawan untuk berkunjung.
Hampir setiap hari, pasar ini dipenuhi oleh masyarakat yang bertransaksi serta wisatawan yang datang untuk sekadar berfoto hingga mencicipi kuliner di dalam pasar.
Berbeda dengan beberapa pasar tradisional di Solo atau Jogja yang biasanya dikenal sebagai sentra oleh-oleh dan buah tangan.
Pasar Gede Solo justru dikenal sebagai pusat kebutuhan pokok.
Baca juga: Tiket Masuk, Jam Buka & Akses ke Pantai Akkarena Makassar, Sulawesi Selatan
Aneka sayur segar, bumbu dapur, daging hingga buah-buahan tersedia secara lengkap.
Selain itu, Pasar Gede Solo juga tenar berkat aneka santapan khas Solo yang masih terus dijajakan.
Seperti halnya Nasi Liwet, Dawet Telasih, Timlo Sastro, dan Tahok.
Oleh sebabnya tak heran jika Pasar Gede Solo juga disebut sebagai destinasi wisata kuliner yang wajib dikunjungi.
Bahkan terkkadang, beberapa kegiatan pertunjukan kesenian kerap digelar di Pasar tersebut mulai dari pertunjukan music hingga pameran lukisan.
Pasar Gede sendiri terletak di seberang Balai Kota Surakarta pada jalan Jendral Sudirman dan Jalan Pasar Gede.
Bangunan ini berada di perkampungan warga keturunan Tionghoa atau Pecinan yang bernama Balong dan terletak di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Banjarsari.
(TribunTravel.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.