TRIBUNTRAVEL.COM - Produk kerajinan tangan memang sudah sangat banyak tersebar di pasaran.
Namun di balik produk tersebut, pastinya menyimpan beragam kisah dari para pembuatnya.
Tak jarang kisah para pengrajin cukup inspiratif sehingga menarik untuk dibahas.
Salah satu cerita inspiratif datang dari Klaten, Jawa Tengah.
Baca juga: Itinerary Bandung 1 Hari dari Sumedang, Solo Traveling Seru dengan Bujet Rp 227 Ribu
Seorang perempuan bernama Julia Anggraini, 35 tahun, kembali merintis bisnis kerajinan bernama Julia Craft.
Walau usahanya baru aktif lagi sejak tahun 2023, sebenarnya keterlibatan Julia dalam dunia kerajinan sudah berlangsung sejak lama.
Julia berbagai kisahnya kepada tim Cenderaloka beberapa waktu lalu.
"Aku mulai dari tahun 2015, waktu masih tinggal di Sumatera. Di sana sempat punya toko rajut dan toko benang,” tutur Julia.
Memulai usaha kembali di tempat yang baru bukan hal mudah untuknya.
Baca juga: Waterpark Riam Mahony di Tapin, Kalsel Tawarkan Mandi Busa, Cocok untuk Liburan Bareng Keluarga
Julia menceritakan bahwa usahanya sebelumnya sudah memiliki pasar yang cukup baik, meski harganya terbilang mahal.
“Di Sumatera pasarnya enak banget. Produk handmade seperti rajutan, walaupun harganya agak tinggi, tetap laku. Orang-orang menghargai hasil tangan," ujarnya.
Namun semuanya berubah ketika pada tahun 2021 Julia pindah ke Klaten.
Di Klaten kini, ia memulai lagi dari nol.
Ia menyadari bahwa pasar di daerah barunya memiliki karakter yang berbeda.
Kesulitannya dimulai karena di Klaten, memasarkan kerajinan tangan terutama rajut cukup sulit.
“Rajutan ternyata agak susah dipasarkan di sini, jadi saya coba eksplorasi bahan lain," ujarnya.
Baca juga: Update Harga Tiket Masuk Dairyland On The Valley untuk Liburan Sekolah per Juli 2025
"Mulailah saya bikin dompet dari kain kanvas, kain goni, sampai bikin hiasan dinding dari resin dan bahan daur ulang,” jelasnya.
Bahan Unik dan Proses Handmade yang Otentik
Julia Craft menonjolkan keunikan pada bahan dan proses pembuatannya.
Tidak hanya bermain dengan benang rajut dan kain, Julia juga menggunakan bunga kering, daun-daunan, bahkan pecahan kaca dari botol bekas untuk menciptakan hiasan artistik dalam media resin.
“Saya pilih bahan-bahan yang memang terlihat beda. Pecahan kaca itu misalnya, kan susah didaur ulang secara alami, jadi saya manfaatkan untuk jadi elemen dekoratif. Pecahinnya sendiri, pilih-pilih juga,” ungkap Julia sambil tertawa.
Semua proses dikerjakan sendiri olehnya, mulai dari pemilihan bahan, proses produksi, hingga pemasaran. Ia tidak bekerja sama dengan vendor bahan, karena ingin menjaga kualitas dan orisinalitas karya.
Baca juga: UMKM Anita Alvin di Klaten, Sulap Lurik Ramah Lingkungan Jadi Busana Keren Bernuansa Budaya
Tantangan di Balik Kreativitas
Sebagai perajin, Julia tentu menghadapi berbagai tantangan.
Salah satunya adalah persaingan harga.
Ia mengaku kesulitan bersaing dengan produk rajutan murah yang banyak dijual di tempat wisata sekitar daerah Prambanan.
“Rajutan dari sana memang murah, tapi kualitasnya beda. Benangnya kasar, gampang rusak. Sayangnya, banyak orang cuma lihat harga,” keluhnya.
Maka dari itu, strategi Julia bukan menurunkan harga, melainkan mengedukasi pasar.
“Saya selalu jelaskan ke pelanggan, kenapa produk saya lebih mahal. Karena bahannya beda, prosesnya lama, dan hasilnya awet,” ujarnya mantap.
Pemasaran produknya dilakukan lewat berbagai saluran, baik offline ke tetangga dan teman-teman, maupun online melalui Instagram, status WhatsApp, Shopee, hingga platform Cenderaloka.
Selain itu, Julia juga aktif mengikuti bazar dan pameran kerajinan.
Mengusung Nilai Lokal dan Keberlanjutan
Salah satu nilai tambah dari karya Julia adalah komitmennya pada penggunaan bahan-bahan lokal dan daur ulang.
Ia sering menggabungkan kain batik dan lurik dalam produk-produknya, seperti dompet dan pouch.
"Itu kain khas sini, jadi saya padukan biar lebih Indonesia banget," jelas Julia.
Tak hanya itu, upaya Julia menggunakan limbah seperti kaca pecah dan sisa kain juga mencerminkan nilai keberlanjutan dalam produknya.
Baginya, kerajinan tangan bukan sekadar estetika, tapi juga bentuk kontribusi pada pelestarian lingkungan dan budaya lokal.
Harapan dan Pesan untuk Generasi Muda
Julia menyadari bahwa industri kerajinan kini makin berat persaingannya dengan banyaknya produk massal dari pabrik yang jauh lebih murah.
Tapi ia tetap optimis.
“Harapan saya, produk handmade tetap bisa bersaing. Karena kualitas dan nilainya beda. Lebih awet, dan ada cerita di baliknya,” katanya.
Sebagai penutup, Julia menyampaikan pesannya untuk generasi muda.
“Jangan takut mulai usaha. Sekarang banyak yang takut gagal duluan. Padahal kalau nggak coba, kita nggak akan tahu," ujarnya.
"Yang penting berani mulai, nanti akan ketemu jalannya,” ucapnya penuh semangat.
Melalui Julia Craft, Julia Anggraini bukan hanya menciptakan kerajinan tangan, tetapi juga menciptakan peluang dan inspirasi.
Dari ruang kecil di rumahnya di Klaten, ia membuktikan bahwa hobi bisa menjadi jalan hidup, asal dijalani dengan ketekunan dan kejujuran.
Baca juga: Monibi Park Lolayan, Wisata Alam di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara yang Sejuk dan Ramah Kantong
Julia menjadi contoh nyata bahwa perajin lokal Indonesia mampu menciptakan karya berkualitas yang tidak kalah bersaing dengan produk pabrik dengan nilai budaya dan lingkungan yang kuat.
Bahkan, optimisme harus terus dipupuk untuk mendapatkan hasil yang terbaik, terutama dalam merintis perjalanan UMKM.
(Cynthiap/Tribunshopping.com)(TribunTravel.com/mym)
Artikel ini telah tayang di Tribunshopping.com dengan judul Julia Craft: Optimisme di Tengah Banyaknya Pesaing Modern Tanpa Meninggalkan Nilai Kerajinan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.