TRIBUNTRAVEL.COM - Jauh sebelum Jakarta menjelma menjadi kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit dan arus lalu lintas yang padat, kawasan Tambora, Jakarta Barat, sudah menjadi saksi sejarah penting perkembangan kota ini.
Di sebuah gang sempit bernama Gang Masjid 1, RT 05 RW 05, Kelurahan Angke, berdiri sebuah kompleks pemakaman yang menyimpan cerita panjang penyebaran agama Islam dan awal mula terbentuknya wilayah Jayakarta.
Baca juga: Itinerary Wisata Kuliner Jakarta Barat 2 Hari 1 Malam, Cobain Bakmi Ayam Acang & Bubur Angke

Baca juga: Itinerary Seharian Wisata Kuliner di Jakarta Barat, Cobain Kopi Es Tak Kie hingga Bubur Kwang Tung
Kompleks tersebut dikenal sebagai Makam Keramat Angke, tempat peristirahatan terakhir Pangeran Tubagus Angke, satu tokoh penting dalam dakwah Islam di Jakarta.
Makam ini bukan sekadar situs religi, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari sejarah kota yang kini menjadi ibu kota negara.
Baca juga: Bear4Love: Kolaborasi RMHC dan Museum of Toys Galang Dana Rumah Singgah Anak Jakarta Barat
Baca juga: 5 Soto Ayam Enak di Jakarta Barat yang Wajib Dicoba untuk Sarapan
Menurut juru kunci generasi ke-14, M. Irfan Natadiharja Martakusuma, ada 15 makam di kawasan ini yang telah berusia hampir lima abad.
Salah satunya adalah makam Tubagus Angke atau nama aslinya Adimarta, tokoh yang dipercaya mendapat amanah langsung dari Sunan Gunung Djati untuk menyebarkan Islam ke wilayah Sunda Kelapa sekitar tahun 1500-an.
Dakwah Damai di Tanah Paseban
Perjalanan Tubagus Angke dimulai dari jalur timur laut menuju Sunda Kelapa, melewati Cirebon, Indramayu, Bekasi, Karawang, hingga Cilincing.
Dengan mengikuti petunjuk dari Sunan Gunung Djati, ia kemudian menetap di tanah Paseban.
Di tempat itulah ia membangun pendopo yang kini menjadi Masjid Jami Angke, sebagai pusat dakwahnya.
“Beliau nyari tanah Paseban karena memang yang ditunjuk (oleh Sunan) itu lokasinya di situ,” ujar Irfan saat ditemui, Minggu (18/5/2025).
Berbeda dari pendekatan militer, dakwah yang dilakukan Tubagus Angke bersifat damai dan lebih banyak melalui syiar budaya serta pendekatan sosial.
Tantangan yang dihadapinya justru datang dari dalam masyarakat yang waktu itu masih kental dengan kepercayaan Hindu.
“Kalau berperang, musuhnya kelihatan. Tapi kalau syiar, enggak. Karena pakai bahasa yang sama, cara pikir yang sama,” tambah Irfan.
Baca juga: Ada Jasa Baca Garis Tangan dan Tarot di Kota Tua, Jakarta Barat, Jakarta, Cek Tarifnya
Dari Dakwah Menjadi Kampung
Seiring waktu, aktivitas dakwah Tubagus Angke mulai menarik perhatian masyarakat, termasuk para pedagang yang datang menjajakan barang dagangannya.
Lambat laun, kawasan tersebut berkembang menjadi Kampung Angke, yang kemudian menjadi bagian penting dari sejarah pembentukan wilayah Jakarta.
Berdasarkan catatan sejarah, Tubagus Angke dipercaya menguasai wilayah Jayakarta setelah menikahi Putri Ayu Pembayun Fatimah, putri dari Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Ia wafat pada tahun 1577, dan dimakamkan di dekat lokasi dakwahnya.
Makam yang Dijaga Turun-temurun
Kini, Makam Keramat Angke masih aktif dikunjungi oleh peziarah dari berbagai penjuru.
Irfan, sang juru kunci, menyebutkan bahwa tradisi menjaga makam ini sudah berlangsung turun-temurun dalam keluarganya.
Di dalam area pendopo, terdapat empat pusara utama, termasuk makam Tubagus Angke, yang ditandai dengan nisan kerucut menyerupai bidak catur.
Nisan tersebut dibungkus kain kuning sebagai tanda kesakralan.
Di sekitarnya, terdapat nisan istri dan kerabat Tubagus Angke yang juga ditutupi kain putih dan kuning.
“Semua ditutup untuk menjaga kesakralan dan menghindari penyalahgunaan gambar atau bentuk nisan,” jelas Irfan.

Suasana Spiritual dan Cagar Budaya
Masuk ke area makam, pengunjung akan melewati gapura hijau-kuning yang berada tepat di seberang Masjid Jami Angke.
Di dalam pendopo, suasana religius sangat terasa, dengan deretan kaligrafi, doa-doa, serta lukisan Walisongo dan para pendahulu Irfan yang terpajang rapi di dinding.
Meskipun tempat ini sudah dinobatkan sebagai cagar budaya, perawatan dan biaya operasional makam sebagian besar masih bersumber dari kotak amal dan inisiatif pribadi Irfan serta warga sekitar.
Irfan sendiri menolak segala bentuk komersialisasi maupun kepentingan politik.
“Kalau musim caleg saya pergi. Karena niatnya beda. Saya jaga ini bukan cari belas kasih, tapi warisan nilai,” tegasnya.
Terbuka untuk Siapa Saja
Menariknya, Irfan tidak membatasi siapa pun untuk berziarah.
Bahkan, ia menyediakan tempat bagi peziarah non-Muslim seperti pemeluk Konghucu yang ingin menaruh dupa.
Namun, ia tetap meminta pengunjung untuk berpakaian sopan dan tidak sedang haid bagi perempuan.
“Yang penting niatnya datang untuk mendoakan. Itu sudah cukup,” katanya.
Kini, di tengah gemerlapnya Jakarta, Makam Keramat Angke berdiri sebagai penjaga memori sejarah kota dan pengingat tentang perjuangan seorang tokoh yang memilih jalan damai dalam menyebarkan Islam.
Sebuah warisan spiritual dan budaya yang masih hidup dan dijaga dengan sepenuh hati oleh para penerusnya.
Alamat: Gang Masjid 1, RT 05 RW 05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat
Buka setiap hari, peziarah disarankan datang pada siang atau sore hari. Tidak diperkenankan menginap.
Akses mudah dari Stasiun Duri atau halte TransJakarta Jembatan Lima.
Ambar/TribunTravel
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.