TRIBUNTRAVEL.COM - Benua Antartika dikenal sebagai tempat terdingin di dunia, di mana seluruh permukaannya ditutupi es.
Karena sebagian besar wilayah Antartika tertutup es dan salju, maka tidak ada banyak ruang tersisa bagi tanaman untuk tumbuh.

Sehingga, tidak ada pohon atau semak belukar di Antartika.
Antartika umumnya hanya dihuni oleh dua spesies tanaman berbunga, yaitu rumput rambut Antartika (Deschampsia Antarctica) dan lumut mutiara Antartika (Colobanthus Quitensis).
Baca juga: Salju Abadi di Puncak Jaya Diambang Kepunahan, Diprediksi Lenyap pada 2026 Mendatang
Keduanya tanaman tersebut hanya tumbuh terbatas di Kepulauan Orkney Selatan, Kepulauan Shetland Selatan, dan di sepanjang Semenanjung Antartika bagian barat.
Namun, dilaporkan Unilad, seiring dengan meningkatnya suhu global dan es di Antartika yang terus mencair, para peneliti menemukan bahwa tanaman di benua tersebut tumbuh lebih cepat.
LIHAT JUGA:
Nicoletta Cannone dan rekan-rekannya dari University of Insubria Italia, mengukur pertumbuhan dua tanaman asli Antartika di sejumlah lokasi di Signy Island, Kepulauan Orkney Selatan, dari tahun 2009 hingga 2019.
Membandingkan hasil dengan survei yang dilakukan selama 50 tahun sebelumnya, mereka menemukan bahwa lokasi tersebut tidak hanya menjadi lebih padat dengan tanaman, namun juga tumbuh lebih cepat setiap tahunnya seiring dengan semakin hangatnya iklim.
Hasilnya sangat mencengangkan, dengan pertumbuhan rumput rambut di Antartika pada tahun 2009-2019 sama banyaknya dengan pertumbuhan rumput rambut sepanjang 50 tahun sejak tahun 1960 hingga tahun 2009.
Baca juga: Video Viral di TikTok, Fenomena Hujan Salju Terjadi di Mimika Papua, Begini Penjelasan BMKG
Tanaman lumut mutiara Antartika bergerak lebih cepat, tumbuh lima kali lebih banyak dalam periode yang sama.
Peter Convey dari British Antarctic Survey menyinggung dampak percepatan pertumbuhan seperti yang dia katakan kepada New Scientist.

"Ciri paling baru dari hal ini bukanlah gagasan bahwa sesuatu tumbuh lebih cepat. Kami pikir kami mulai melihat apa yang tampak seperti perubahan langkah atau titik kritis," ujar Convey.
Sementara itu, Matthew Davey, dari Asosiasi Ilmu Kelautan Skotlandia di Oban, Inggris menambahkan: "Percepatan ekspansi kini terlihat jelas di kawasan ini."
"Penelitian ini memberi kita kumpulan data komprehensif pertama yang menunjukkan seberapa cepat dan padatnya komunitas tumbuhan dapat berkembang," imbuhnya.
Para peneliti mengakui mungkin ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, termasuk menurunnya populasi anjing laut berbulu.
Meski demikian, kaitannya dengan perubahan iklim sangatlah jelas.
Meningkatnya suhu juga memungkinkan spesies invasif berkoloni di benua tersebut dan tumbuh melebihi tanaman asli, sehingga dapat mengganggu stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati setempat.
"Jika kami mengekstrapolasi apa yang kami amati di Pulau Signy ke situs lain di Antartika, proses serupa juga bisa terjadi," jelas Cannone
"Ini berarti lanskap dan keanekaragaman hayati Antartika dapat berubah dengan cepat," sambungnya.
Baca juga: Seminggu Terjebak Badai, Seorang Pria Bertahan Hidup dengan Makan Salju dan Croissant
Es di Antartika terus mencair
Sebelumnya dilaporkan Kompas.com, luas es laut Antarktika di Kutub Selatan terus mencair.
Penyusutannya pada Juli tahun ini memecahkan rekor, 15 persen di bawah rata-rata bulanan.

Sepanjang Juni, batas es laut Antarktika juga masih jauh di bawah rata-rata luas tahunan.
Laporan tersebut disampaikan layanan pemantau iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), dalam laporan terbarunya.
Wilayah es laut yang konsentrasinya paling rendah di bawah rata-rata adalah di Weddell utara, Bellingshausen timur, dan Laut Ross utara.
Baca juga: Pendaki Rekam Momen Mengerikan saat Salju di Gunung Tiba-tiba Longsor, Videonya Viral di Medsos
Sementara itu, ada juga wilayah yang komposisi es lautnya di atas rata-rata, yakni di sektor Laut Amundsen yang luas.
Wakil Direktur C3S Samantha Burgess mengatakan, dunia baru saja menyaksikan pecahnya rekor baru suhu udara global dan suhu permukaan laut global.
"Rekor ini memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi manusia dan planet yang terpapar peristiwa ekstrem yang semakin sering dan intens," kata Burgess dalam keterangan persnya, Selasa (8/8/2023).
Burgess mengatakan, 2023 menjadi tahun terhangat ketiga dengan rata-rata suhu naik 0,43 derajat celsius.
"Rata-rata suhu global pada bulan Juli sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri," ucap Burgess.
"Meski hanya sementara, ini menunjukkan urgensi upaya ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global, yang merupakan pendorong utama di balik rekor ini," sambungnya.
(TribunTravel.com/SA)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.