TRIBUNTRAVEL.COM - Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Kabinet Pembangunan IV pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Prof H Emil Salim, MA, PhD, berkomentar terkait kelangsungan ekosistem Taman Nasional Komodo dalam audiensi Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem bersama Tim Pelaksana Penguatan Fungsi Taman Nasional Komodo pada Kamis (7/7/2022).
Dalam audiensi yang belangsung di Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur itu, Emil mengatakan bahwa Taman Nasional Komodo merupakan wisata yang berbeda dengan tempat wisata lain di Indonesia.

Pada masa jabatannya tahun 1978-1993, Emil menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai salah satu taman nasional pertama di Indonesia.
"Wisata komodo adalah wisata dengan living creature yang unik yang merupakan binatang yang historis," ujar Emil, dikutip dari siaran pers yang diterima TribunTravel, Kamis (21/7/2022).
Baca juga: Harga Tiket Masuk TN Komodo Naik Jadi Rp 3,75 Juta, Sandiaga Tegaskan Buat Konservasi
Pakar lingkungan hidup itu menyebut, wisata komodo adalah wisata dengan nyawa hewan.
"Bukan wisata barang mati seperti Borobudur atau lainnya. Komodo adalah makhluk hidup yang keunikannya justru menjadi daya tarik," kata dia.
LIHAT JUGA:
"Nah jika demikian halnya, maka komodo sebagai makhluk hidup, harus kita pertahankan," sambungnya.
Jangan lihat kuantitas wisatawan
Emil menjelaskan, strategi pariwisata Taman Nasional Komodo sebaiknya tidak dilihat dari jumlah wisatawan yang berkunjung.
Melainkan berdasarkan keterbatasan kualitas wisatawan.
Baca juga: Heboh Harga Tiket Taman Nasional Komodo Rp 3,75 Juta, Ternyata Biaya Kontribusi 1 Tahun
"Maka jangan jumlah pengunjung menjadi kriteria. Yang menjadi objek wisata adalah makhluk hidup, bukan barang mati. Apabila ekosistemnya terganggu bisa mengganggu ekuilibrium kehidupan komodo, yang mana kita tidak punya ahlinya," paparnya.

Emil menyarankan orientasi terhadap komodo harus berubah.
Ia mengatakan, komodo bukan sebagai objek turis saja tapi sebagai makhluk unik.
Selama ini, menurut Emil, komodo dianggap objek yang berhak dimanfaatkan, namun tidak peduli akan perubahan ekosistem.
Dalam audiensi tersebut, Emil juga menyampaikan bahwa binatang tidak bisa hidup sendiri, melainkan ia
bergantung pada ekosistem di sekitarnya.
"Sedangkan kita masih melakukan pembangunan, tak peduli dengan dampak lingkungan," ujarnya.
Ia pun mengatakan, belakangan ini penggunaan lahan berdampak pada perubahan ekosistem, yang tentunya berpengaruh pada kehidupan komodo.
Baca juga: Viral Video Wisatawan Nyalakan Petasan di Pulau Kalong Taman Nasional Komodo hingga Banjir Hujatan
"Tidak ada yang peduli pada dampak dari penggunaan lahan, perubahan iklim, suhu, serta alam. Tidak ada yang peduli. Yang penting wisatawan dapat hotel, dapat berwisata, dan dapat naik kapal. Apakah ada yang peduli dengan komodo? Tidak ada. Yang penting uang, uang, dan uang," ucap Emil.
Maka dari itu, ke depannya strategi pengelolaan Taman Nasional Komodo tidak hanya menjadikan jumlah wisatawan sebagai patokan.

Melainkan berapa besar toleransi yang dapat diterima oleh ekosistem komodo dan makhluk hidup lainnya.
Selain itu, lanjut Emil, harga tiket masuk perlu dinaikkan sebagai kompensasi untuk mengembalikan apa yang hilang dari ekosistem komodo dan makhluk hidup lainnya.
Tidak hanya untuk mewujudkan pariwisata yang bertanggung jawab, tetapi juga mengedepankan prinsip serta praktik konservasi dalam melestarikan kekayaan bangsa Indonesia.
Baca juga: Kemenparekraf Sebut Tiket Terusan Taman Nasional Komodo Rp 3,75 Juta Masih Tahap Pembahasan
Baca juga: Pengunjung Taman Nasional Komodo Dibatasi Mulai 1 Agustus 2022, Turis Harus Beli Tiket Online
"Saya mungkin sebentar lagi tidak ada lagi. Bapak Ibu juga nanti tidak akan ada. Tapi komodo harus tetap ada. Kita diwarisi oleh Tuhan Mahakuasa kekayaan alam yang tidak ada duanya di dunia. Tidak ada di tempat lain
di dunia ini, kecuali di Indonesia," jelas Emil.
"Perlakukan Komodo sebagai binatang yang terhormat dan luhur. Jangan rombak pulau, jangan datangkan wisata demi perut semata," tutupnya.
(TribunTravel.com/SA)