TRIBUNTRAVEL.COM - Sri Lanka mengalami kebangrutan setelah gagal membayar hutang luar negeri senilai 51 miliar dollar AS atau sekitar Rp 764 trilliun).
Hal tersebut membuat warga Sri Lanka menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk mengundurkan diri.

Kekacauan di Sri Lanka diperparah dengan adanya demo berjilid-jilid sampai warganya 'menjajah' istana kepresidenan.
Warga Sri Lanka pun merasakan dampak atas bangkrutnya negara tersebut.
Baca juga: 18 Fakta Unik Sri Lanka, dari Negara yang Cukup Kaya hingga Kini Mengalami Krisis
Sri Lanka mengalami situasi terburuk sejak menyatakan kemerdekaannya pada 1948.
Ternyata, tak cuma Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan.
LIHAT JUGA:
Suara alarm berdering untuk banyak ekonomi di seluruh dunia, dari Laos dan Pakistan hingga Venezuela dan Guinea, dilaporkan AP News.
Menurut laporan Global Crisis Response Group Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Juni 2022 silam, terdapat 94 negara yang menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi, dan sistem keuangan.
Penyebab terjadinya krisis bervariasi, salah satunya adalah perang antara Rusia dan Ukraina yang terjadi ketika pandemi Covid-19.
Selain itu, korupsi, perang saudara, kudeta, dan bencana juga menjadi penyebabnya.
Menurut PBB, lebih dari separuh negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi mengalami kebangkrutan.
Berikut 9 negara yang mengalami kesulitan ekonomi atau berisiko bangkrut seperti Sri Lanka.
1. Afghanistan

Afghanistan mengalami krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil kendali ketika Amerika Serikat (AS) dan The North Atlantic Treaty Organization (NATO) menarik pasukannya pada 2021.
Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan Afghanistan berhenti sejak Taliban mulai berkuasa.
Pemerintah menerapkan sanksi, menghentikan transfer bank, dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.
Pemerintahan Joe Biden juga membekukan 7 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Afghanistan yang disimpan di AS.
Sekitar setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa.
Bahkan, sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.
Baca juga: Sejumlah Maskapai Mulai Menangguhkan Penerbangan ke Sri Lanka, Buntut Krisis yang Terjadi
2. Argentina
Sekitar empat dari 10 orang Argentina jatuh miskin dan bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uangnya melemah.
Inflasi diperkirakan akan melebihi 70 persen tahun ini.
Jutaan orang Argentina bertahan hidup sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak di antaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa.
3. Mesir

Mesir menjadi salah satu negara yang terancam bangkrut layaknya Sri Lanka.
Tingkat inflasi Mesir melonjak hingga hampir 15 persen pada April 2022, sehingga menyebabkan kemiskinan terutama bagi hampir sepertiga dari 103 juta penduduknya yang hidup dalam kemiskinan.
Padahal sebelumnya, mereka telah menderita akibat program reformasi ambisius yang mencakup langkah-langkah penghematan seperti mengambangkan mata uang nasional dan pemotongan subsidi untuk bahan bakar, air, dan listrik.
Di sisi lain, bank sentral menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang.
Namun hal tersebut justru menambah kesulitan dalam membayar hutang luar negeri Mesir yang cukup besar.
4. Laos
Laos merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat sampai pandemi melanda.
Tingkat hutangnya telah melonjak dan seperti Sri Lanka, Laos sedang dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar.
Masalah ini semakin diperparah dengan situasi keuangan negara yang melemah.
Selain itu, mata uang Los, Kip, yang terdepresiasi sebesar 30 persen juga semakin memperburuk penderitaan Laos.
Baca juga: Sri Lanka Keluarkan Aturan Baru Tentang Gajah, Termasuk Tak Boleh Bekerja di Malam Hari
5. Lebanon

Seperti Sri Lanka, Lebanon mengalami keruntuhan mata uang yang membuat tingkat inflasi melonjak.
Kelaparan pun meningkat, selain antrean yang mengular untuk gas.
Situasi ini diperparah karena Lebanon juga mengalami perang saudara yang panjang, pemulihannya terhambat oleh disfungsi pemerintah dan serangan teror.
Usulan pajak pada akhir 2019 memicu kemarahan lama terhadap kelas penguasa dan protes selama berbulan-bulan.
Mata uang mulai tenggelam dan Lebanon gagal membayar kembali senilai sekitar 90 miliar dolar AS pada saat itu.
Pada Juni 2021, dengan mata uang yang telah kehilangan hampir 90 persen nilainya, Bank Dunia mengatakan krisis tersebut menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.
6. Myanmar
Ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah tentara merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Hal tersebut membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara yang mendominasi ekonomi.
Ekonomi diperkirakan hampir tidak tumbuh pada 2022.
Lebih dari 700.000 orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik.
Baca juga: Tarif Naik Balon Udara di Cappadocia Turki, Mulai Rp 2,8 Jutaan dengan Durasi Terbang 1 Jam
7. Pakistan

Pakistan mengalami krisis karena melonjaknya harga minyak mentah, sehingga mendorong naiknya harga bahan bakar.
Hal tersebut berimbas juga pada kenaikan harga bahan-bahan lainnya.
Bahkan juga menyebabkan inflasi hingga lebih dari 21 persen dengan mata uang Rupee Pakistan yang telah jatuh sekitar 30 persen terhadap dolar tahun lalu.
Pada akhir Maret 2022, cadangan devisa Pakistan telah turun menjadi 13,5 miliar dollar AS (Rp 202 triliun) atau setara dengan dua bulan impor.
8. Turki

Permasalahan hutang Turki diperburuk dengan situasi keuangan pemerintah yang menipis.
Situasi semakin sulit karena tingkat inflasi yang lebih dari 60 persen dan pengangguran tinggi.
Bank Sentral terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk meredam krisis mata uang Lira yang sudah jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap Euro dan dolar AS pada akhir 2021.
Pemerintah Turki juga telah mencabut potongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam inflasi.
Krisis yang terjadi membuat warga Turki harus berjuang untuk dapat membeli makanan dan barang-barang lain.
Baca juga: Negara Dilanda Krisis Ekonomi, Ribuan Warga Sri Lanka Ramai-ramai Bikin Paspor
9. Zimbabwe
Zimbabwe mengalami inflasi hingga lebih dari 130 persen, sehingga muncul kekhawatiran terjadinya hiperinflasi yang pernah dialami negara tersebut pada 2008.
Inflasi membuat warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang negaranya dan lebih memilih menambah permintaan terhadap dolar AS.
Banyak warga Zimbabwe yang melewatkan makan karena mereka lebih memilih berjuang untuk memenuhi kebutuhan.
(TribunTravel.com/SA)