Breaking News:

Ramadan 2021

Mengenal Bleguran, Permainan Tradisional Remaja Jakarta Tahun 70-an Saat Ngabuburit di Bulan Ramadan

Bleguran merupakan permainan yang dilakukan di sore hari selama Ramadan dengan bambu besar berkarbit untuk mendapatkan suara dentuman mirip meriam.

Penulis: ronnaqrtayn
Editor: ronnaqrtayn
Going Deep
Ilustrasi penembakan meriam. Mengenal bleguran, tradisi permainan yang biasa dilakukan saat ngabuburit oleh orang Betawi di Jakarta. 

TRIBUNTRAVEL.COM - Saat bulan suci Ramadan tiba, ada banyak aktivitas berbeda dari bulan-bulan biasa yang akan dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

Mulai dari berburu takjil, buka puasa, salat tarawih, itikaf, sahur hingga berkegiatan sambil menunggu azan Maghrib atau yang lebih dikenal dengan sebutan ngabuburit.

Ngabuburit bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari jalan-jalan, mendatangi pasar kuliner untuk berburu takjil hingga bermain.

Nah, di Jakarta sendiri, dahulu ada sebuah tradisi bermain yang disebut dengan ‘bleguran’ yang dilakukan saat ngabuburit sambil menunggu azan Maghrib tiba.

Bleguran adalah permainan anak-anak yang dilakukan pada sore hari selama bulan Ramadan dengan bambu besar berkarbit untuk mendapatkan suara dentuman mirip meriam, namun tanpa peluru.

Menurut sejarawan, penulis, sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal, sekitar tahun 70-an, warga Jakarta lebih memilih menunggu waktu berbuka puasa dengan melakukan aktivitas sembahyang di rumah atau melakukan kegiatan berkelompok bersama warga kampung.

Baca juga: 3 Tradisi Unik Sambut Ramadan dari Berbagai Belahan Dunia, Ada Musaharati di Lebanon

Ilustrasi tempat ngabuburit seru di Jakarta.
Ilustrasi tempat ngabuburit seru di Jakarta. (instagram/uncle_syaf)

“Ya ada, jadi walaupun ada yang bilang tidur saja lebih baik daripada menimbulkan dosa gitu ya, tapi ngabuburit itu bisa dilakukan macam-macam. Misalnya, dulu ada ngabuburit digunakan untuk menyiapkan aneka macam permainan. Misal para remaja mempersiapkan permainan bleguran begitu ya,” ujar Rizal, dikutip dari Kompas.com.

Rizal mengatakan, menjelang berbuka para remaja pada masa itu akan pergi ke kebun untuk mencari bambu kentung atau bambu yang memiliki rongga yang besar sebagai bahan dasar membuat bleguran.

“Bambu yang besar itu kemudian dimasukkan karbit lalu disundut. Biasanya nanti akan dibawa malam hari. Bleguran juga sering disebut meriam sundut,” lanjut Rizal.

Menurut Rizal, meski berbentuk seperti meriam dan menghasilkan suara yang keras, bleguran tidak berbahaya.

2 dari 4 halaman

Para remaja dan warga kampung lainnya akan berkumpul dan menikmati keceriaan membunyikan bleguran bersama.

Mengutip laman sejarahjakarta.com, permainan bleguran ini berasal dari sejarah panjang kota Jayakarta yang kemudian namanya diubah menjadi Batavia pada tahun 1621.

Tanggal 30 Mei diputuskan menjadi hari ulang tahun kota pusat kekuasaan kompeni itu dan setiap berulang tahun, meriam-meriam di benteng pun disundut: blegur blegur!

Tradisi sundut meriam ini semakin menjadi Ketika kota benteng Batavia ditinggalkan dan daerah sekitar Gambir dijadikan kota baru Batavia bernama Weltevreden pada akhir 1800.

Tiga orang anak sekolah dasar di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, NTT, Jumat (19/12/2014) membunyikan meriam bambu di samping rumah mereka. Tradisi meriam bambu merupakan warisan leluhur orang Flores untuk menyambut kelahiran Isa Almasih.
Tiga orang anak sekolah dasar di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, Flores, NTT, Jumat (19/12/2014) membunyikan meriam bambu di samping rumah mereka. Tradisi meriam bambu merupakan warisan leluhur orang Flores untuk menyambut kelahiran Isa Almasih. (KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Sejak Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch dilantik (1830-1834), tradisi sundut meriam ini tak hanya dilakukan setahun sekali, melainkan setiap hari.

Trauma terhadap serangan Inggris pada 1816 yang menjatuhkan Hindia Belanda, membuat Van den Bosch membuat satu garis pertahanan yang terkenal dengan sebutan “Defensielijn van den Bosch”.

Sebagai tanda pergantian pasukan jaga benteng, setiap pukul delapan malam dan lima pagi meriam disundut: blegur blegur!

Hampir seantero Batavia mendengarnya. Penghuni kota lantas menjadikannya petunjuk waktu.

Namun, pada awal 1903, tradisi menembakkan meriam ini dihentikan karena dianggap sebagai pemborosan.

Sehingga terjadilah protes oleh masyarakat yang merasa kehilangan patokan waktu.

3 dari 4 halaman

Protes tak didengar, tetapi orang Betawi tidak pernah lupa dengan dentuman meriam itu.

Mereka lantas memanifestasikannya ke dalam bentuk permainan bleguran.

Permainan ini kemudian sering muncul pada saat-saat menjelang bulan puasa hingga tiba hari Lebaran, di mana soal waktu menjadi begitu istimewa.

Saking istimewanya, Guru Manshur seorang mualim Betawi yang banyak menulis buku soal puasa mengatakan bahwa puasa itu sejatinya adalah konsep waktu agar tidak seperti “celepuk kesiangan”.

Ini ungkapan Betawi untuk menggambarkan bahaya dari tidak mengelola waktu dengan baik.

Sehingga orang dicaplok oleh waktu dan hidup tidak selamat.

Sahur, imsak, dan berbuka adalah ajaran betapa seseorang tidak harus berkompetisi dengan waktu, tetapi berdamai.

Manusia harus memaknai waktu sebagai medium untuk belajar menahan diri, ikhlas, serta tegas atas hak dan batil.

Sehingga, kemudian bisa menjadi manusia yang memiliki kemanusiaan “in optima forma”.

Dalam konteks itulah dentum bleguran yang dimainkan anak-anak di bulan Ramadan adalah peringatan agar manusia tidak lupa.

4 dari 4 halaman

Sebab, Tuhan pun bersumpah: “Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang mengerjakan kebaikan.”

Namun sayangnya, tradisi bermain bleguran kini sudah semakin ditinggalkan dan nyaris hilang, menurut JJ Rizal.

Ada banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini hilang, salah satunya kurangnya lahan terbuka di Jakarta serta budaya warga Jakarta yang mengalami perubahan.

Ia berharap, budaya-budaya semacam ini bisa dibangkitkan kembali.

Sehingga nantinya dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian atraksi budaya masa lalu warga Jakarta yang dapat menarik minat wisatawan.

Baca juga: Ini Daftar Negara-negara dengan Durasi Puasa Ramadan Terlama hingga Terpendek, Bagaimana Indonesia?

Baca juga: Mengenal 4 Keju Tradisional Indonesia, Ada Dangke hingga Dadiah, Sudah Pernah Coba?

Baca juga: 5 Tradisi Jelang Ramadan di Pulau Jawa, Mulai dari Nyorog di Betawi hingga Dandangan di Kudus

Baca juga: Melihat Proses Malamang, Tradisi Membuat Kudapan Ketan Pakai Bambu di Sumatera Barat

Baca juga: Selain Indonesia, 5 Negara Ini Punya Tradisi Makan Pakai Tangan

Selanjutnya
Sumber: Tribun Travel
Tags:
bleguranngabuburitRamadan Kolak Pisang
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved