TRIBUNTRAVEL.COM - Australia banyak menjadi tujuan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk berlibur, menuntut ilmu bahkan tinggal.
Tak heran, banyak WNI yang bisa ditemui di sana.
Bahkan ada sejumlah WNI yang sudah tinggal dan menetap selama puluhan tahun di Australia.
Meski demikian, mereka tetap bangga dan mempertahankan kewarganegaraan Indonesia.
Baca juga: Kepiting Asal Australia Dijual Seharga Lebih dari Rp 3 Juta Per Ekor, Apa Istimewanya?
Salah satunya adalah Tiur Ratu boru Munthe, yang sudah tinggal di Sydney sejak 1974 sebelum menetap pada 1981.
Kepada ABC Indonesia, ibu dari dua anak dan nenek dari lima orang cucu ini tetap memegang paspor Indonesia.
Tiur yang bersuamikan pria keturunan China mengatakan, kecintaannya kepada Indonesia masih tetap mendalam, walau alasan kepindahannya ke Australia karena kondisi di Indonesia saat itu.
"Tujuan pertama kami pindah waktu itu adalah untuk menghindari masalah SARA, karena waktu itu, warga etnis China mulai ditekan dengan adanya kode-kode tertentu di KTP," kata Tiur seperti yang dilansir dari ABC pada Kamis (15/10/2020).
"Jadi untuk masa depan anak-anak ke depan agar bebas dari tekanan kami pindah," tambah perempuan berdarah Tapanuli itu.
Tahun ini adalah tahun ke-46 Tiur Munthe dan keluarganya tinggal di Sydney.
"Setelah tiba pada 1974 kami sempat pulang pergi dan sesudah 1981, karena anak-anak sudah mesti sekolah, kami menetap dan hanya pulang ke Indonesia untuk berlibur," ujar perempuan berusia 69 tahun tersebut.
Alasan tak melepaskan kewarganegaraan Indonesia
Baik Tiur maupun keluarganya yang masih memegang paspor Indonesia mengaku tidak pernah mengalami masalah dalam urusan perpanjangan paspor
"Saya tidak pernah bermasalah dengan KJRI Sydney, apalagi 12 tahun belakangan ini staf-staf KJRI dan Konjennya merakyat," kata Tiur yang juga adalah ketua perkumpulan warga Batak Bonapasogit di Sydney.
Salah satu alasan warga Indonesia pindah warga negara biasanya agar memudahkan perjalanan ke negara lain, tapi Tiur merasa tak ada kendala dengan tetap memegang paspor Indonesia.
"Untuk mengurus perjalanan ke negara lain kami tidak mengalami masalah, karena semua syarat yang diminta sudah disiapkan. Jadi walau paspornya Indonesia, tapi karena kami sudah berstatus permanent resident (penduduk tetap) Australia, ini juga banyak menolong," kata Tiur.
Alasan lain keluarga Tiur mempertahankan paspor Indonesia adalah karena mereka masih memiliki properti di Indonesia.
Meskipun, telah hampir lima dasawarsa tinggal di Australia, Tiur mengaku masih terus berkontribusi bagi Indonesia dengan caranya sendiri.
"Saya ingin membantu anak-anak di desa untuk pendidikan. Selama ini kami hanya dapat membantu sedikit di daerah yang berbeda di Nusa Tenggara Timur," kata Tiur.
Perempuan yang juga aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia di Sydney ini mengatakan ia sedang fokus mencari dana bagi pembangunan sekolah di lembah gunung di Kareka Nduku, Sumba Barat.
Kebanggaan diri sebagai orang Indonesia Pra Kromodimoeljo sudah 60 tahun tinggal di Australia, lebih lama daripada Tiur.
Pria yang bermukim di Melbourne ini tiba sebagai mahasiswa saat ia berusia 17 tahun pada 1960 untuk menempuh pendidikan di RMIT Melbourne, sampai akhirnya menikah dengan warga Australia Lorraine Rae pada 1965 dan menetap di Australia.
Sepanjang hidupnya di Australia, Tiur sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan, ketika Australia memberlakukan kebijakan White Australia Policy, di mana Australia hanya menerima imigran kulit putih dari Eropa pada 1970-an.
Namun, setelah mempertimbangkan latar belakang pengalaman diri dan keluarganya, dia memutuskan tetap menjadi WNI.
"Alasan utama adalah alasan psikologis, harga diri. Sampai sekarang saya tidak pernah mengalami masalah sebagai pemegang paspor Indonesia," kata Pra.
Ia malah merasa memiliki keuntungan sebagai orang Indonesia karena melihat perkembangan ekonomi Indonesia sebagai negara terbesar keempat di dunia.
Pra yang sebelumnya belajarMetalurgi di RMIT dan kemudian bekerja di Lab Metalurgi di salah satu perusahaan Australia Caterpillar mengatakan masih terus memiliki hubungan erat dengan Indonesia.
"Rata-rata selama 60 tahun ini, saya dan istri saya mengunjungi Indonesia setiap 2 tahun sekali," kata pria kelahiran 1942 ini.
Mereka juga pernah ke Indonesia pada 1968 untuk menjajaki kemungkinan menetap di sana, namun melihat situasi dalam negeri di awal Orde Baru saat itu, Pra akhirnya memutuskan untuk kembali dan menetap di Melbourne.
Usia 88 tahun
Tomik Subagio yang berusia 88 tahun sudah lebih lama lagi tinggal di Australia dan masih memegang paspor Indonesia.
Pria yang kini bermukim di Adelaide, Australia Selatan, pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada 1955.
Ia pertama kali datang untuk belajar di bidang teknik di Adelaide University selama 1955 sampai 1963, lalu melanjutkan karirnya sebagai insinyur mesin.
Kesempatannya belajar ke Adelaide menurut Tomik tak lepas karena kemerdekaan Indonesia dan jasa para pahlawannya.
"Sebelum berangkat ke Australia, di Istana Merdeka Jakarta, kami disalami oleh Presiden Sukarno (Bung Karno), beliau mengucapkan selamat dan mengharapkan kami kembali ke Indonesia dengan dua tangan kanan," cerita Tomik.
Setelah menyelesaikan sekolah pada 1963, ia sempat pulang ke Indonesia, namun kemudian kembali ke Adelaide untuk menetap sejak 1968.
Kembalinya ke Adelaide, Subagio bekerja di Departemen Teknik dan Pasokan Air (Department of Engineering and Water Supply) sampai pensiun pada 1992.
Ketika bekerja, Subagio menciptakan sebuah katup kupu-kupu (butterfly valve) untuk mengatur aliran air dan menjadikannya salah seorang pegawai yang memiliki hak paten katup kupu-kupu tersebut.
Setelah pensiun, Tomik tetap aktif bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris-Indonesia dan sebaliknya.
Tomik sering bertugas di pengadilan ataupun di rumah sakit yang memerlukan penerjemah bahasa.
"Saya sampai sekarang adalah petugas layanan publik tertua di Australia Selatan," kata Tomik Subagio kepada ABC Indonesia pada Kamis (15/10/2020).
Tomik mengaku sama sekali tidak pernah mempertimbangkan untuk pindah kewarganegaraa meski dia menikahi seorang perempuan Australia.
"Saya merasa berutang budi kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk paman-paman dan kakak saya sendiri," ujarnya.
Tonton juga:
Dalam kontak dengan ABC Indonesia pada Rabu (14/10/2020), Tomik mengatakan ia berstatus "stateless", atau tidak memiliki warga negara, karena paspornya kedaluwarsa sejak 3 tahun yang lalu.
Sementara untuk memperpanjang paspor, Tomik merasa mengalami beberapa kendala dengan pihak KJRI Sydney yang membawahi Australia Selatan.
Namun, setelah ABC Indonesia mengonfirmasikan hal ini kepada KJRI Sydney, beberapa jam kemudian masalah Tomik terpecahkan.
"Wita dari KJRI akan menyelesaikan masalah paspor saya," kata Tomik Subagio.
"Hari ini, Eni Mosel (dari komunitas Indopeduli Adelaide) akan membantu saya mengirimkan paspor yang sudah kedaluwarsa sejak 2017 ke KBRI Sydney," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puluhan Tahun Tingal di Australia, Orang-orang Ini Tak Rela Lepaskan Kewarganegaraan Indonesia"
Baca juga: Butuh Uang, Pramugari Selundupkan Heroin Bernilai Jutaan Dolar ke Australia
Baca juga: 3.000 Tahun Tak Terlihat, Setan Tasmania Kembali Lagi ke Daratan Australia
Baca juga: 4 Kegiatan Seru saat Liburan ke Broome Australia, Wajib Kunjungi Teater Film Outdoor Tertua di Dunia
Baca juga: Singapura Buka Pintu Kunjungan Wisata Mulai 8 Oktober 2020, Tapi Khusus Turis Australia dan Vietnam
Baca juga: Terinspirasi dari Maskapai Australia, Maskapai India Berencana Akan Buka Penerbangan Wisata