TRIBUNNEWS.COM - Jalur rempah merupakan cara untuk mempromosikan makanan, seni, dan budaya Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Prima Nurahmi Mulyasari, M.A., Indonesian Institute of Sciences (LIPI) dalam webinar International Forum on Spice Route 2020 sesi Spice Route: A Southeast Asian Perspective, Selasa (22/9/2020).
“Makanan Indonesia yang kaya rempah bisa berperan di hubungan internasional, terutama mengenai diplomasi publik dan budaya,” kata Prima.
“Diaspora Indonesia yang berada di luar negeri bisa memainkan peran penting sebagai agen diplomasi budaya di negara-negara yang mereka tempati tersebut,” lanjutnya.
Pasalnya, dalam komunitas diaspora makanan bisa jadi bahasa universal untuk berbagi rasa saling memiliki dengan tempat asal.
Dalam presentasinya selama webinar, Prima memberikan contoh berupa seorang warga negara Kanada keturunan Belanda.
Diaspora Belanda tersebut senantiasa mengonsumsi produk makanan siap saji asal Belanda yang menawarkan aneka menu khas Indonesia.

Karena Indonesia dahulu adalah koloni Belanda, maka kuliner Belanda pun terpengaruh baik dari segi resep maupun rempah yang digunakan.
“Antara tahun 1946-1972, sekitar 481.000 warga negara Belanda beremigrasi ke negara tradisional imigran seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan New Zealand.
Makanan Indonesia seperti ini mulai muncul di Belanda setelah Perang Dunia II, mengikuti diaspora Belanda.”
Diaspora Indonesia di Belanda
Hal yang sama, menurut Prima, juga sudah terjadi lewat diaspora Indonesia di Belanda.
Pada 1945-1959 sekitar 300.000 migran meninggalkan Indonesia ke Belanda.
Keberadaan para migran ini sempat disinggung oleh Beb Vuyk dalam bukunya Groot Indonesisch Kookboek pada 1973.
Ia menyebutkan bahwa para migran Indonesia kala itu mulai mengimpor rempah dan bahan makanan Indonesia. Mereka membuka toko di depan kamar mereka.
Sementara para pria membawa mobil tua dan berkeliling ke seluruh negeri dengan membawa sambal, acar, kerupuk udang, dendeng, dan ikan asin.
Bagi mereka yang punya uang akan membuka restoran.
“Di Amsterdam, jumlah restoran China-Indonesia meningkat dari dua pada 1945 menjadi 44 restoran di 1960. Di periode yang sama, restoran Indonesia meningkat dari 0 jadi enam restoran,” terang Prima.
Salah satu pemicunya menurut Van Otterloo, seorang sosiolog dan sejarawan makanan, adalah karena orang Belanda punya kebiasaan makan yang membosankan.
Ibu rumah tangga Belanda disebut hanya punya sedikit imajinasi kuliner dan lebih memilih bersih-bersih daripada masak. Di awal abad ke-20, rata-rata orang Belanda memakan 130 kilogram kentang setiap tahunnya.
Biasanya kentang tersebut dimasak jadi rebusan sejenis sayur. Makanan sehari-hari orang Belanda kala itu adalah kentang, sayuran rebus, dan kuah kaldu.
Terkadang ditemani dengan daging dan bumbu yang sedikit serta monoton.
“Di sisi lain, imigran Indonesia yang baru datang ke Belanda adalah koki yang lebih baik walaupun mereka miskin. Orang-orang Indonesia ini rutin makan beragam jenis makanan dengan banyak rempah dan bumbu,” sebut Prima.
Diaspora Indonesia ini kemudian secara tidak langsung mempromosikan budaya makan ala Indonesia lengkap dengan kulinernya pada warga di negara tersebut.
Beberapa di antara mereka bahkan membuat restoran Indonesia.
Restoran tersebut semakin memperkenalkan kuliner Indonesia pada warga internasional.
• Pecahkan Rekor, Emirates Berencana Mengoperasikan Penerbangan Terpanjang di Dunia Tahun Depan
• Semakin Mudah, Urus Paspor Kini Bisa Dilakukan di Rumah dengan Layanan Eazy Passport
• 7 Makanan yang Bisa Membantu Tidur Lebih Cepat, Ada Madu hingga Pizza
• Festival Kampung Tematik Bakal Digelar di Kota Malang Oktober 2020 Mendatang
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kuliner Indonesia Menyebar di Dunia, Bagaimana Peran Diaspora Indonesia?"