TRIBUNTRAVEL.COM - Jelang hari kemerdekaan Indonesia di tanggal 17 Agustus mendatang, Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah menjadi salah satu museum yang menyimpan kisah-kisah kelam perjalanan Indonesia.
Tak melulu soal barang bersejarah yang dipamerkan, bangunan Museum Fatahillah justru merupakan inti sejarah itu sendiri.
Sebagai landmark kawasan Kota Tua Jakarta, Museum Fatahillah selalu ramai kunjungan, terlebih pada momen-momen penting dan hari libur nasional.
Namun, tahukah kamu bahwa Museum Fatahillah menyimpan sisi gelap dan kisah yang kelam dari zaman penjajahan?
Pada zaman penjajahan Belanda, Museum Sejarah Jakarta atau yang sering kali disebut Museum Fatahillah adalah balai kota Batavia.
• Setelah Keliling Kota Tua, Yuk Cicipi Es Selendang Mayang Dekat Museum Fatahillah
Balai Kota Batavia pada masanya merupakan pusat aktivitas rakyat pada abad ke 17 hingga 19.
Setiap sore rakyat berkumpul mengambil air bersih dari satu-satunya mata air di halaman depan balai kota.
Tak hanya itu, ada pula trem yang berjalan dengan rel di depan balai kota.
Selain aktivitas-aktivitas itu, balai kota juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai tempat pelaksanaan hukuman mati dan pembantaian massal.
Secara tak langsung bangunan Museum Fatahillah itu adalah saksi bisu dari pemerintahan yang brutal.
TONTON JUGA:
Pada tahun 1740, Gubernur Batavia saat itu, Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membantai orang-orang Tionghoa di depan balai kota.
Ribuan orang Tionghoa diikat, duduk bersimpuh di depan balai kota.
Kemudian dari jendela balai kota sang gubernur memberikan kode untuk melakukan eksekusi terhadap ribuan orang Tionghoa itu.
Dikutip dari Kompas.com, pembantaian yang kemudian dikenal dengan nama 'Geger Pacinan' itu disebabkan oleh isu ekonomi dan politik yang berkembang di Batavia saat itu.
Kejadian tersebut lantas mencoreng nama pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.
Gubernur Adriaan yang memerintahkan pembantaian tersebut kemudian diadili dan mati di penjara saat kembali ke Belanda.
Selain pembantaian itu, Museum Fatahillah juga menjadi saksi bisu penderitaan tawanan di penjara bawah tanah untuk wanita dan laki-laki.
Ketika air laut pasang, penjara akan terisi air laut dan merendam tubuh para tawanan.
Kondisi tersebut benar-benar membuat para tawanan sengsara.
Ada pula pejuang Indonesia yang pernah ditahan di penjara tersebut, yakni Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.
Selain itu, ada juga kisah Pieter Erberveld, pemberontak yang dihukum mati di halaman selatan Benteng Batavia dengan cara yang kejam.
Kedua tangan dan kaki Erberveld serta rekan-rekannya, diikat pada tali tambang.
Keempat ujung tali tambang kemudian diikatkan pada kuaa-kuda pilihan yang sangat kuat.
Kemudian, kuda-kuda tersebut dilecut hingga berlari ke arah-arah yang berlawanan.
Badan Erberveld dan rekan-rekannya pun terkoyak
Peristiwa tersebut kemudian tercatat di monumen pecah kulit yang berada di halaman belakang Museum Fatahillah.
Namun, setelah peristiwa-peristiwa kelam itu, kini di masa tuanya, Museum Fatahillah sudah berdiri kokoh dan terlihat anggun dengan arsitektur neo klasiknya.
• Menilik Bekas Rumah Jenderal Sudirman yang Kini Jadi Museum Sasmitaloka
• 8 Museum Unik di Indonesia, dari Museum Nyamuk hingga Museum Tsunami
• Melihat Bekas Rumah Laksamana Maeda yang Kini Menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi
• Sejarah Museum Nasional, Terbesar di Asia Tenggara dengan Koleksi Mencapai 141.000
• Melihat Sejarah Museum Sumpah Pemuda yang Sempat Dijadikan Toko Bunga