Laporan Wartawan TribunTravel.com, Rizki A Tiara
TRIBUNTRAVEL.COM - Traveler tentu tak asing lagi dengan keberadaan pasar terapung di beberapa daerah di Indonesia.
Seperti di Pasar Terapung Lok Baintan di Kalimantan Selatan atau Pasar Terapung Langkat, Sumatra Utara.
Di pasar terapung, segala kegiatan jual beli dilakukan di atas perairan.
Namun, bagaimana jika yang terapung itu adalah sebuah desa?
Desa terapung memang benar-benar ada, letaknya di Brunei Darussalam.
Dikutip TribunTravel.com dari laman The Culture Trip, nama desa terapung di Brunei Darussalam itu adalah Kampong Ayer.
Tak tanggung-tanggung, desa ini dijuluki sebagai desa terapung terbesar di dunia.
Terletak di Bandar Seri Begawan, Kampong Ayer lebih terlihat seperti kota kecil.
Ada jalan setapak yang terbuat dari perpaduan kayu dan beton sepanjang 38 kilometer yang menghubungkan sekitar 42 desa.
Rumah dan bangunan lainnya seperti masjid, sekolah atau restoran sebagian besar terbuat dari kayu.
Meski terapung-apung, semua penduduk Kampong Ayer memiliki akses listrik dan WiFi lho!
Penduduk juga biasa menggunakan kapal kayu untuk pergi dari satu desa ke desa lain.


Kampong Ayer juga bisa disebut sebagai Venesia dari Timur atau Venice of the East.
Keberadaan Kampong Ayer sudah tercatat bangsa Eropa sejak hampir 500 tahun yang lalu.
Pada 1521 ketika pelayar Portugis Ferdinand Magellan menjelajah dunia dengan cendekia asal Venesia, Antonio Pigafetta.
Ketika mereka berlayar di dekat Brunei Darussalam, Antonio melihat kemiripan antara desa di atas panggung ini dengan kampung halamannya.
Kampong Ayer memang berdiri di atas sungai, tetapi penduduk bepergian dan berjualan dari satu desa terapung ke desa terapung lainnya dengan menggunakan perahu.
Ini sangat mirip dengan Venesia.
Namun, saat ini istilah Venesia dari Timur mengacu pada lebih dari 40 destinasi terapung yang tersebar dari China ke Thailand, hingga ke Irak.
Meski begitu, Kampong Ayer memiliki signifikansi tersendiri.
Menurut catatan yang dibuat oleh para pedagang China, masyarakat suku Bajau membangun rumah di atas Sungai Brunei sejak sekitar 1.000 tahun yang lalu.
Selama berabad-abad, desa-desa terapung ini semakin berkembang dan terkoneksi satu sama lain.
Bahkan pada kedatangan bangsa Eropa, Kampong Ayer menjadi pusat Kerajaan Brunei.
Namun, karena orang Eropa tidak terbiasa dengan cara hidup terapung, mereka mencoba mendorong para penduduk untuk pindah ke daratan.
Seiring waktu, semakin banyak penduduk desa terapung yang meninggalkan cara hidup tradisional mereka.
Pada awal 1900an, lebih dari separuh populasi masih tinggal di Kampong Ayer.
Kini, kehidupan penduduk Kampong Ayer lebih modern.
Meski tampilan desa terapungnya masih kental, tidak semua penduduk masih menggunakan cara hidup tradisional.
Ada sejumlah mobil yang diparkir di sepanjang Waterfront milik warga kaya yang tinggal di rumah-rumah konkret bertingkat dua.
Mereka tinggal di lingkungan Kampung Ayer yang lebih eksklusif dan jauh dari lingkungan desa yang kumuh, atap bergelombang, dan eksterior bangunan yang lapuk.
Yang lebih disayangkan lagi, populasi penduduk Kampong Ayer menurun drastis karena lebih dari separuhnya pindah ke daratan selama 40 tahun terakhir.
Namun, mereka yang memilih untuk menolak tinggal di daratan masih melestarikan tradisi dan kebiasaan yang telah diwarisi selama hampir 1000 tahun.