TRIBUNTRAVEL.COM - Ameesha Chauhan, pendaki yang selamat dari "kemacetan" di Gunung Everest kini berada di rumah sakit untuk menjalani pemulihan dari forstbite (radang dingin) yang ia alami.
Ia mengatakan, pendaki tanpa keterampilan dasar sebaiknya dilarang mendaki untuk mencegah terulangnya 'musim mematikan' tahun ini di puncak tertinggi dunia.
Sepuluh orang telah meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu setelah cuaca buruk di Gunung Everest.
TONTON JUGA
Kemacetan di Gunung Everest membuat banyak pendaki gunung menunggu dalam antrian panjang menuju puncak, berisiko kelelahan dan kehabisan oksigen.
Nepal mengeluarkan rekor 381 izin mendaki Gunung Everest musim ini.
Ratusan orang berstatus 'tidak terlatih dengan baik' mengambil risiko dan "menempatkan hidup mereka sendiri dalam bahaya dan juga panduan Sherpa", kata Chauhan.
Petenis India berusia 29 tahun itu harus menunggu 20 menit untuk turun dari puncak setinggi 8.848 meter (29.029 kaki), tetapi yang lain tertahan berjam-jam.
"Saya melihat beberapa pendaki tanpa keterampilan dasar sepenuhnya mengandalkan panduan Sherpa mereka. Pemerintah harus memperbaiki kualifikasi (orang yang boleh mendaki)," katanya kepada AFP dikutip dari laman AsiaOne.com, Selasa (28/5/2019) di rumah sakit umum Kathmandu.

• Potret Jasad Pendaki yang Dibiarkan Berada di Gunung Everest
Semua jari kaki di kaki kirinya hitam dan biru, kulit wajahnya mengelupas dan kebiruan akibat terpapar cuaca ekstrim di Gunung Everest.
"Hanya pendaki terlatih yang diberikan izin untuk mendaki Everest," imbuhnya.
Selain kematian Everest, sembilan pendaki tewas di puncak Himalaya di atas ketinggian 8.000 meter, sementara satu orang hilang.
Kepadatan di jalur pendakian diduga menjadi penyebab setidaknya empat kematian di gunung tertinggi di dunia itu.
Banyak pendaki menunggu berjam-jam di "zona kematian", yang mana dinginnya cukup pahit, minim oksigen dan medannya sangat berbahaya.
Korban Everest tahun ini adalah yang tertinggi sejak 2014 hingga 2015 ketika gempa bumi besar memicu longsoran dahsyat.
Kerumunan itu terlihat di foto yang diambil minggu lalu oleh Nirmal Purja, seorang mantan tentara Gurkha, yang berada di antrian panjang pendaki yang naik ke puncak.
Foto kerumunan mendaki puncak setinggi 14 8.000 meter di dunia dalam tujuh bulan telah menyebar dari pengguna Twitter @nimsdai-nya dan menyoroti bahaya di tengah trend untuk mendaki Everest.
"Banyak pendaki kehabisan oksigen," kata Chauhan.
"Beberapa pendaki meninggal karena kelalaian mereka sendiri. Mereka bersikeras mencapai puncak bahkan jika oksigen mereka habis, sehingga mempertaruhkan hidup mereka," katanya.
Pendaki lain yang juga pembuat film petualangan dan dokumenter, Elia Saikaly, memposting di Instagram pada hari Minggu (26/5/2019) ketika ia telah mencapai puncak Everest dan "tidak percaya apa yang ia lihat di sana".
• Jalur Pendakian Gunung Everest Macet, 3 Pendaki Meninggal Dunia
"Kematian. Kekacauan. Mayat di jalur dan di tenda. Orang-orang yang aku coba tong akhirnya mati. Orang-orang diseret ke bawah. Banyak pendaki berjalan di atas mayat," tulis Saikaly.
• Deretan Kasus Kematian Pendaki di Gunung Everest Awal Tahun 2019
Mountaineering telah menjadi bisnis besar sejak Edmund Hillary dan Tenzing Norgay melakukan pendakian pertama Everest pada tahun 1953.
Sejak saat itu, Gunung Everest menjadi populer di kalangan pendaki di seluruh dunia.
Izin yang ditetapkan pemerintah Nepal musim ini, tiket mendaki Gunung Everets dipatok harga USD 11 ribu atau sekitar Rp 158 juta.
Bisnis pendakian Everest meningkatkan mata uang asing yang sangat dibutuhkan bagi negara Himalaya itu.
Setidaknya, 140 orang lainnya diberikan izin untuk mendaki dari sisi utara di Tibet.
Akhir musim pendakian bulan Mei akan ditutup minggu ini, tapi jumlah pendaki yang naik ke Everest belum dirilis.
Korban tewas termasuk empat pendaki dari India dan masing-masing satu dari Amerika Serikat, Inggris dan Nepal.
Seorang pendaki gunung Irlandia diduga tewas setelah dia terpeleset dan jatuh di dekat ke puncak.
Pendaki Austria dan Irlandia lainnya tewas di sisi utara Tibet.
Ssatu orang India yang meninggal di sisi Nepal, Nihal Bagwan, 27 tahun, harus menunggu lebih dari 12 jam dan meninggal dalam perjalanan kembali dari puncak.
Donald Lynn Cash, 55, pingsan di puncak ketika dia mengambil foto, sementara Anjali Kulkarni, 55, meninggal saat turun setelah mencapai puncak.
Penyelenggara ekspedisi Kulkarni, Arun Treks, mengatakan lalu lintas padat di puncak Everest telah menghambat orang yang ingin turun dan menyebabkan tragedi itu.
"Dia harus menunggu lama untuk mencapai puncak dan turun," kata Thupden Sherpa.
• Seorang Ilmuwan Ungkap Mars, Venus dan Merkurius Dulunya Mirip dengan Bumi
• Kepala Wanita Asal India Terpenggal saat Tersangkut di Lift
• Resep Bebek Gulai Kurma, Kuliner khas Aceh untuk Hidangan Lebaran
• 7 Sajian Kuliner Khas Lebaran dari Berbagai Daerah di Indonesia
• 4 Insiden Penerbangan Ini Perlihatkan Beda Perilaku Penumpang Asia dan Barat di Pesawat
TribunTravel.com/rizkytyas