Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Mata Lokal Travel

Wisata Religi Kunjungi Kompleks Makam Butuh di Sragen, Teladani Kisah Keberanian Raden Joko Tingkir

Penulis: Sinta Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kompleks Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

TRIBUNTRAVEL.COM - Beragam tempat wisata religi dapat ditemukan di Jawa Tengah.

Di Sragen misalnya, ada kompleks Makam Butuh yang kini semakin populer.

Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (TRIBUNSOLO.COM/Septiana Ayu)

Karena kian populer, destinasi wisata yang juga terkenal dengan nama Makam Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir ini semakin banyak dikunjungi wisatawan, baik yang hendak berziarah atau sekadar ingin tahu tempat bersejarah ini.

Kebanyakan wisatawan yang datang untuk berziarah berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Baca juga: Jadi Favorit Warga Sragen, Inilah Gatot dan Kerupuk Trowolo yang Legendaris

Adapun lokasi Makam Butuh berada di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kec. Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Kepala Desa Gedongan, Maryanto mengatakan di hari biasa, peziarah yang datang berkunjung berjumlah ratusan orang.

LIHAT JUGA:

Sementara, pada hari libur atau hari Sabtu-Minggu, jumlah wisatawan yang datang semakin banyak.

"Kalau hari-hari biasa, Senin-Jumat mungkin ya bisa 300-400 pengunjung, kalau hari Sabtu-Minggu, bus itu rata-rata 50 unit per harinya, Sabtu 50 bus, Minggu 50 bus," katanya kepada TribunSolo.com, Senin (13/1/2025).

Bukan tanpa alasan, makam yang berlokasi di tepi Sungai Bengawan Solo ini begitu populer di kalangan peziarah.

Ketika baru tiba, terlihat kompleks Makam Butuh dikelilingi pagar berwarna hijau dan kuning.

Wisatawan kemudian diarahkan masuk ke area makam, dengan melewati jalan setapak yang telah terpasang atap.

Kompleks Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. (TRIBUNSOLO.COM/Septiana Ayu)

Sepanjang jalan masuk tersebut, sebelah kanan kirinya terdapat kursi panjang yang bisa digunakan wisatawan untuk duduk beristirahat.

Selain itu, jalan masuk tersebut juga berada di tengah pemakaman umum.

Ketika berjalan lagi, akan menemukan pintu gerbang yang saat melihat keatas, akan terlihat ornamen mahkota bertuliskan PB X.

Selain itu, juga terdapat sebuah batu prasasti berwarna hitam di depan pintu masuk, yang bertuliskan Pesarean Kanjeng Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir), Raja Pertama Kasultanan Pajang.

Tepat di belakang pintu masuk, terdapat meja registrasi.

Di mana, salah satu perwakilan dari rombongan peziarah diminta untuk mengisi buku tamu, lalu kemudian membayar biaya administrasi mulai dari Rp 10.000 untuk pengguna motor, dan yang datang menggunakan bus, membayar Rp 50.000 per bus.

Di luar gedung Makam Raden Joko Tingkir terdapat makam-makam dengan nisan berwarna putih berukuran besar, yang merupakan makam kerabat Raden Joko Tingkir.

Baca juga: Oleh-oleh Kerupuk Trowolo Khas Sragen, Jawa Tengah, Camilan Sehat dari Singkong

Di luar kompleks gedung Makam Raden Joko Tingkir, terdapat makam-makam kecil lainnya, yang diketahui merupakan makam pengikut Raden Joko Tingkir.

Saat masuk ke dalam gedung Makam Raden Joko Tingkir, terdapat total 9 makam.

Makam Raden Joko Tingkir berada di tengah, dengan dikelilingi kain putih, dan sudah terlihat dari luar pintu masuk.

Tepat di samping Makam Raden Joko Tingkir juga terdapat makam Kanjeng Pangeran Benowo.

Kemudian, di sebelah utara Makam Raden Joko Tingkir bersemayam Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Butuh dan Nyi Ageng Kebo Kenongo yang merupakan orang tua Raden Joko Tingkir.

Lapak penjual jeruk baby lokal di kawasan wisata religi Makam Butuh, di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen. (TRIBUNSOLO.COM/Septiana Ayu)

Di samping makam orang tua Raden Joko Tingkir, terdapat makam Kanjeng Pangeran Tedjowulan.

Lalu, terdapat empat makam lainnya di sebelah utara, yakni makam Kanjeng Pangeran Monco Negoro, Kanjeng Tumenggung Wilomarto, Kanjeng Tumenggung Wuragil, dan KRt Kadilangu.

Di luar gedung Makam Raden Joko Tingkir, terdapat sebuah kotak kaca berisi sebongkah kayu, yang diketahui merupakan sisa kayu getek yang digunakan Raden Joko Tingkir saat melakukan perjalanan dengan menyusuri Sungai Bengawan Solo.

Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz mengatakan nama Makam Butuh sendiri diambil dari nama Ki Ageng Butuh.

"Disinilah beliau menamakan diri Ki Ageng Butuh, sampai wafatnya dikuburkan di lingkup, di sini dulu kisahnya rumahnya, dimakamkan di dalam rumahnya," kata Aziz.

"Kalau sosoknya tidak tahu, kalau singkatnya Adipati Pengging, selama menggantikan orang tuanya, yaitu KA Handayaningrat, makamnya di Pengging sana, beliau mungkin dulunya adalah strategi perang di zaman Majapahit, Mbah Prabu Brawijaya," sambungnya.

Ia menambahkan, Makam Butuh kemudian dipugar Pakubuwaan X sekitar tahun 1930.

Makam dipugar dengan batu nisan ditinggikan, karena saat itu, kompleks makam Butuh masih sering tergenang banjir.

"Makam dipugar dengan diberi beton, kemudian ada tembok sekeliling, gerbang, kemudian diberi tanda diatas gerbang itu Mahkota PB X, dan sejak itu resmi dijaga, ada penjaganya, ada juru kuncinya," jelasnya.

Baca juga: 5 Kuliner Enak di Sragen untuk Makan Siang, Pencinta Pedas Cobain Botok Mercon Mbah Wiro

Aziz menerangkan Makam Butuh dikenal dengan Makam Joko Tingkir.

Singkatnya, setela meninjak usia dewasa, Joko Tingkir diminta untuk mengabdi ke Keraton Demak, yang masih dikuasai Sultan Trenggono.

Di Keraton Demak, Raden Joko Tingkir tergolong prajurit berprestasi, sehingga tidak butuh waktu lama Raden Joko Tingkir diangkat menjadi Ketua Kompi.

Raden Joko Tingkir sempat kembali ke daerah asalnya, dan kembali lagi ke Demak selang beberapa waktu.

Pada saat kembali, kerajaan Demak sedang mengalami kekisruhan yang diakibatkan karena ada yang mengamuk, namun tidak ada yang dapat menundukkannya.

Jembatan Butuh di Kabupaten Sragen akhirnya diresmikan, Senin (6/1/2025). Jembatan Butuh dapat dilalui untuk menuju Kompleks Makam Butuh. (TribunSolo.com/Septiana Ayu Lestari)

Lalu, Raden Joko Tingkir diminta untuk mengatasi amukan kerbau tersebut, dan akhirnya berhasil ditaklukkan.

Karena jasanya itu, Raden Joko Tingkir diangkat menjadi menantu oleh Sultan Demakdan dipercaya menjadi Adipati Pajang dengan gelar Adipati Hadiwijaya.

Setelah Sultan Trenggono meninggal dunia, terjadi perebutan tahta oleh anak cucunya.

Raden Jaka Tingkir pun tidak ingin ikut berebut tahta, karena ia sadar, bahwa itu bukan menjadi haknya.

Perebutan tahta pun semakin sengit, namun akhirnya pihak kerajaan Demak sepakat mengangkat Adipati Hadiwijaya menjadi Raja Demak IV dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Karena kondisi Demak tidak kondusif, maka ibu kota Kerajaan Demak dipindah ke Pajang, sehingga gelarnya menjadi Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang I.

"Setelah memimpin 40 tahun, pindah ke Butuh ini, menjadi penerus perjuangan orang tuanya, yang dulu itu Butuh ini sebagai orang tua di Masyarakat, sebagai yang dimintai nasehat, itu dilanjutkan sultan Hadiwijaya," jelasnya.

"Kemudian, setelah meninggal lalu dimakamkan disamping makam ayahnya di gedung ini sekarang, kemudian sekarang orang menamakan Makam Joko Tingkir karena viral di buku dan media," kata Aziz.

Tidak ada aturan khusus, bagi para wisatawan yang hendak berziarah.

"Terutama di tempat ini adalah ziarah, mengingat perjuangan orang-orang dulu, kan ada sejarahnya, ada kisahnya untuk dicontoh kisahnya," pungkasnya.

(TribunSolo.com/Septiana Ayu Lestari)

Artikel ini telah tayang di TribunSolo.com dengan judul Wisata Religi Makam Butuh Sragen: Kini Ramai Wisatawan, Teladani Kisah Keberanian Raden Joko Tingkir.