Hal itu kian terlihat saat adanya deklarasi satu di antara partai baru pasca reformasi yang memperkenalkan budaya-budaya Tionghoa sebagai tema utamanya.
Dalam deklarasi yang digelar di Stadion Sriwedari, Surakarta kala itu, Adjie melihat seni barongsai dan liong yang ditampilkan bukan asli dari warga lokal Solo, melainkan didatangkan dari Kota Semarang.
Melihat hal tersebut, Adjie dan sahabatnya tergerak untuk mendirikan perguruan barongsai di Surakarta.
“Pada waktu itu saya berpikir, eman-eman (sayang sekali). Harusnya Solo punya potensi (di bidang Barongsai), kita punya dasar wushu, kok,” ucapnya.
Baca juga: Nonton Barongsai di Jakarta Pusat, Datangi 4 Mal Ini, Grand Indonesia hingga Senayan City
Niat Adjie dan temannya untuk mendirikan perguruan barongsai pun disambut antusias berbagai pihak.
Banyak pemerhati barongsai dari daerah lain yang menyumbangkan segala perlengkapan untuk membantu usaha Adjie tersebut.
Pada 5 Februari 1999, cikal bakal Barongsai Tripusaka pun lahir.
Pada 1999 ketika perayaan Imlek bisa diselenggarakan lagi pasca Orde Baru, Barongsai Tripusaka pun tampil untuk pertama kalinya di Sriwedari.
Baca juga: KAI Meriahkan Momen Imlek di Sejumlah Stasiun, Bagi-bagi Angpo hingga Suguhkan Atraksi Barongsai
Tripusaka Punya Tiga Misi
Pengurus Barongsai Tripusaka Solo tak hanya menjadikan barongsai sebagai kegiatan kebudayaan Tionghoa.
Dalam perkembangannya, Barongsai Tripusaka menetapkan ada tiga misi utama yang menjadi prioritas bagi perguruan mereka.
Ketiga misi tersebut adalah religi, olahraga, dan hiburan.
Misi ritual, sebelum pementasan, semua anggota tanpa terkecuali harus memasuki Lithang (Kelenteng Khonghucu) untuk berdoa bersama.
Doa tersebut dipimpin Haksu, menurut tata cara dan keyakinan serta agama mereka masing-masing.
Dari segi olahraga, sejak tahun 1999, beberapa daerah di Indonesia mulai menggelar perlombaan barongsai.