Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Tanaman Bunga di Antartika Tumbuh Lebat, Benarkah Disebut Sebagai Pertanda Buruk?

Penulis: Sinta Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi bunga tumbuh di Antartika. Tanaman bunga di Antartika dilaporkan tumbuh lebih cepat setiap tahunnya seiring dengan semakin hangatnya iklim.

Para peneliti mengakui mungkin ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, termasuk menurunnya populasi anjing laut berbulu.

Meski demikian, kaitannya dengan perubahan iklim sangatlah jelas.

Meningkatnya suhu juga memungkinkan spesies invasif berkoloni di benua tersebut dan tumbuh melebihi tanaman asli, sehingga dapat mengganggu stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati setempat.

"Jika kami mengekstrapolasi apa yang kami amati di Pulau Signy ke situs lain di Antartika, proses serupa juga bisa terjadi," jelas Cannone

"Ini berarti lanskap dan keanekaragaman hayati Antartika dapat berubah dengan cepat," sambungnya.

Baca juga: Seminggu Terjebak Badai, Seorang Pria Bertahan Hidup dengan Makan Salju dan Croissant

Es di Antartika terus mencair

Sebelumnya dilaporkan Kompas.com, luas es laut Antarktika di Kutub Selatan terus mencair.

Penyusutannya pada Juli tahun ini memecahkan rekor, 15 persen di bawah rata-rata bulanan.

Antartika. (Unsplash/James Eades)

Sepanjang Juni, batas es laut Antarktika juga masih jauh di bawah rata-rata luas tahunan.

Laporan tersebut disampaikan layanan pemantau iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), dalam laporan terbarunya.

Wilayah es laut yang konsentrasinya paling rendah di bawah rata-rata adalah di Weddell utara, Bellingshausen timur, dan Laut Ross utara.

Baca juga: Pendaki Rekam Momen Mengerikan saat Salju di Gunung Tiba-tiba Longsor, Videonya Viral di Medsos

Sementara itu, ada juga wilayah yang komposisi es lautnya di atas rata-rata, yakni di sektor Laut Amundsen yang luas.

Wakil Direktur C3S Samantha Burgess mengatakan, dunia baru saja menyaksikan pecahnya rekor baru suhu udara global dan suhu permukaan laut global.

"Rekor ini memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi manusia dan planet yang terpapar peristiwa ekstrem yang semakin sering dan intens," kata Burgess dalam keterangan persnya, Selasa (8/8/2023).

Burgess mengatakan, 2023 menjadi tahun terhangat ketiga dengan rata-rata suhu naik 0,43 derajat celsius.

"Rata-rata suhu global pada bulan Juli sebesar 1,5 derajat celsius di atas tingkat praindustri," ucap Burgess.

"Meski hanya sementara, ini menunjukkan urgensi upaya ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global, yang merupakan pendorong utama di balik rekor ini," sambungnya.

(TribunTravel.com/SA)