Pria yang juga bekerja di Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga juga mengatakan, bahwa tradisi Likuran dan pintu gerbang sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Lingga sejak 2019 lalu.
Bagi warga, malam Tujuh Likur selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar.
"Malam Tujuh Liko yang terdapat pada malam 27 Ramadan ini selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang terdapat pada malam ganjil, di mana malam itu lebih baik dari seribu bulan. Makanya dari awal malam 21 Ramadhan masyarakat Lingga sudah memasangkan lampu penerangan," kata Lazuardy kepada TribunBatam.id, Kamis (6/4/2023).
Lazuardi menjelaskan, peringatan malam tujuh likur ini juga mengingatka bahwa sebelumnya umat Islam berada pada zaman kegelapan atau malam kebodohan hingga sampai kepada zaman yang terang benderang yang penuh dengan kemajuan.
"Tujuh Likur ini juga yang dimulai pada tahun 80-an, mereka mempererat silaturahim, berkunjung, berbagi rezeki, hingga merayakan berbuka bersama," ucapnya.
Baca juga: Citilink Tawarkan Tiket Pesawat Murah Jakarta-Batam, Mudik Lebaran Jadi Lebih Hemat
Dulu pada masa 70-an, dia menceritakan, masyarakat Melayu Lingga memanfaatkan bahah-bahan bekas atau seadanya untuk membuat pintu gerbang.
Namun sekarang, sudah ada pakai triplek, terpal, maupun lampu penerangan dari listrik yang biasanya hanya dibuat dengan lampu minyak tanah atau pelita.
"Semoga sampai kapanpun tradisi yang ada ini tetap lestari oleh generasi ke generasi," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di TribunBatam.id dengan judul Ramadan di Lingga, Mengenal Tradisi Likuran di Tanah Melayu.