Trauma terhadap serangan Inggris pada 1816 yang menjatuhkan Hindia Belanda, membuat Van den Bosch membuat satu garis pertahanan yang terkenal dengan sebutan “Defensielijn van den Bosch”.
Sebagai tanda pergantian pasukan jaga benteng, setiap pukul delapan malam dan lima pagi meriam disundut: blegur blegur!
Hampir seantero Batavia mendengarnya. Penghuni kota lantas menjadikannya petunjuk waktu.
Namun, pada awal 1903, tradisi menembakkan meriam ini dihentikan karena dianggap sebagai pemborosan.
Sehingga terjadilah protes oleh masyarakat yang merasa kehilangan patokan waktu.
Protes tak didengar, tetapi orang Betawi tidak pernah lupa dengan dentuman meriam itu.
Mereka lantas memanifestasikannya ke dalam bentuk permainan bleguran.
Permainan ini kemudian sering muncul pada saat-saat menjelang bulan puasa hingga tiba hari Lebaran, di mana soal waktu menjadi begitu istimewa.
Saking istimewanya, Guru Manshur seorang mualim Betawi yang banyak menulis buku soal puasa mengatakan bahwa puasa itu sejatinya adalah konsep waktu agar tidak seperti “celepuk kesiangan”.
Ini ungkapan Betawi untuk menggambarkan bahaya dari tidak mengelola waktu dengan baik.
Sehingga orang dicaplok oleh waktu dan hidup tidak selamat.
Sahur, imsak, dan berbuka adalah ajaran betapa seseorang tidak harus berkompetisi dengan waktu, tetapi berdamai.
Manusia harus memaknai waktu sebagai medium untuk belajar menahan diri, ikhlas, serta tegas atas hak dan batil.
Sehingga, kemudian bisa menjadi manusia yang memiliki kemanusiaan “in optima forma”.
Dalam konteks itulah dentum bleguran yang dimainkan anak-anak di bulan Ramadan adalah peringatan agar manusia tidak lupa.