Contohnya seperti yang terjadi pada maskapai AirAsia Desember 2014 yang berangkat dari Surabaya.
Pilot Indonesia dan kopilot dari Prancis gagal menangani kendala di auto-pilot, sehingga pesawat terjun ke laut.
Bloomberg menutup pemberitaannya dengan data pesawat Boeing 737-500 yang mengalami 8 kecelakaan dengan total 220 korban tewas, menurut Aviation Safety Network.
Faktor ekonomi, sosial, dan geografi
Media AS lainnya, Associated Press (AP), menyebut ada tiga alasan di balik pesawat Indonesia sering jatuh.
"Ini karena kombinasi dari faktor ekonomi, sosial, dan geografi," tulis AP dalam artikelnya, Senin (11/1/2021).
AP juga menyoroti maraknya Low Cost Carrier (LCC) di Indonesia yang menjadi opsi murah untuk terbang, meski masih banyak wilayah kurang memiliki infrastruktur yang aman.
"Industri ini memiliki sedikit regulasi atau pengawasan pada tahun-tahun awal booming penerbangan Indonesia," tulis AP.
Mengutip data dari Aviation Safety Network, sejak 1945 terdapat 104 kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia dan korban tewasnya sebanyak 2.301, terbanyak di Asia dan di urutan 8 dunia.
Salah satu dampaknya, maskapai Indonesia sempat dilarang masuk AS pada 2007-2016 karena satu atau lebih faktor, seperti keahlian teknis, personel terlatih, prosedur pencatatan dan pemeriksaan.
"Uni Eropa juga menerapkan larangan serupa dari 2007 hingga 2018," lanjut AP.
Meski begitu, AP menerangkan bahwa belakangan ini kondisi mulai membaik di dunia aviasi Indonesia.
"Kemajuan industri ini meningkat signifikan dan pengawasan menjadi lebih ketat," kata pakar penerbangan dan pemimpin redaksi AirlineRatings.com, Geoffrey Thomas, kepada AP.
Kemajuan itu antara lain inspeksi yang semakin intens, regulasi yang lebih kuat, fasilitas dan perawatan yang lebih baik, dan pilot yang semakin terlatih.
"Badan Penerbangan Federal AS memberi Indonesia peringkat Kategori 1 pada 2016, yang berarti menetapkan negara tersebut mematuhi standar keselamatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional," jelas AP dalam artikelnya.