Rupanya hal itu ada hubungannya dengan kebiasaan kawin makhluk laut tersebut.
Dikutip TribunTravel dari laman Odditycentral, tidak semua ulat palolo yang dipanen bisa dikonsumsi.
Cacing laut Palolo berkembang biak secara epitoky, suatu proses di mana cacing mulai menumbuhkan segmen khusus dari belakang, yang terus memanjang hingga cacing dapat terbagi menjadi dua bagian.
Bagian belakang ini berisi telur dan sperma, dan ketika waktunya untuk kawin (biasanya pada bulan kesembilan dan kesepuluh), mereka terlepas dari cacing induk dan naik ke permukaan, membentuk massa yang besar dan merayap.
Cacing ini hidup di dasar laut, dan bisa mengalami epitoky beberapa kali dalam setahun.
Karena manusia hanya bisa memanen beberapa segmen reproduksi yang terapung-apung ini, populasi cacing pasir pun tidak terpengaruh.
Berabad-abad yang lalu, para nelayan dan petani tidak tahu kapan kumpulan cacing yang merayap akan muncul ke permukaan.
Jadi, mereka hanya bergantung pada keberuntungan.
Ada juga orang-orang yang rela melompat ke dalam air dan menangkap cacing sebanyak mungkin menggunakan jaring atau tangan kosong.
Saat ini, para petani di Vietnam sudah mulai mengisi danau dan sawah mereka dengan cacing karena hewan ini ternyata juga dapat hidup di lumpur.
Cacing yang biasanya muncul pada musim tertentu bisa dipanen sebelum waktuya tiba.
Karena cacing laut menjad bahan makanan berharga di Vietnam dan China, para petani tidak lagi mengkonsumsinya sendiri dan lebih memilih menjualnya demi mendapatkan keuntungan.
Sebelum ditambahkan ke telur dadar chả rươi, cacing laut harus direbus untuk menghilangkan tentakel dan bau amisnya.
Aroma kulit jeruk keprok yang segar dan semua bumbu rempah juga menambah kelezatannya.
Di ibu kota Vietnam, Hanoi, cha ruoi sangat populer setiap akhir tahun.
Baca tanpa iklan