Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Telur Asin Brebes Resmi jadi Warisan Budaya Tak Benda, Ternyata Simpan Sejarah Pilu

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pedagang berjualan telur asin di Jalan Diponogoro, Brebes, Jawa Tengah, Senin (29/7/2013). Jelang arus mudik, produsen meningkatkan produksi telur asin sekitar 400 persen dari hari biasa.

TRIBUNTRAVEL.COM - Telur asin Brebes ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) Indonesia dalam sidang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 6-9 Oktober 2020 kemarin.

Siapa sangka dalam sejarah telur asin ada cerita pilu serta perjuangan warga etnis Tionghoa di Brebes.

Sejarawan Pantura, Wijanarto, menuturkan telur asin pertama dibuat tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam di daerah Brebes dan Tegal.

Dulu, telur asin hanya bagian dari ritus ritual sembahyang yang ditujukan pada Dewa Bumi.

Bermula dari sesaji sejit dewa bumi, kemudian masyarakat Tionghoa menjadikan telur asin ini sebagai bagian dari kekuatan untuk bertahan hidup pada masa transisi pasca-Kemerdekaan.

 

"Selepas revolusi, pada masa transisi periode 1945- 1949, terjadi dekolonisasi. Secara politik, masyarakat memiliki problem bidang ekonomi. Karut marut ekonomi terjadi akibat konflik minoritas terutama peranakan Tionghoa," kata Wijanarto ketika dihubungi Tribun Jateng, Selasa (20/10/2020).

Ia membeberkan, konflik politik di tiga daerah (Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal) disebut juga masa 'cocolan' yakni alat semacam bambu runcing untuk membunuh orang.

Peranakan Tionghoa banyak yang menjadi korban, ditangkap dan dibunuh, terutama di daerah Brebes kota dan Bumiayu (daerah Brebes bagian selatan).

Hingga akhirnya, beberapa dari mereka melarikan diri dari Brebes kota ke daerah Cirebon dan Indramayu. Sedangkan Tionghoa dari Bumiayu melarikan diri ke daerah Majenang Cilacap.

Beberapa yang bertahan harus bersembunyi dan bertahan hidup. Nah, telur asin dijadikan pangan untuk mereka bertahan hidup.

"Mereka memiliki keterampilan tradisional untuk mengawetkan makanan dengan cara diasinkan. Dengan diasinkan, makanan jadi bisa bertahan lama," beber pria yang juga Kepala Bidang Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Brebes ini.

Meskipun situasi kondusif, namun perekonomian belum pulih betul.
Saat itu telur asin mulai dikomersialkan dari satu warga peranakan Tionghoa dijual ke warga lain hingga saat ini.

Menurutnya, ada tiga aspek masa itu yang mempengaruhi adanya telur asin. Yakni filosofi gotong royong, teknologi pangan, dan pengetahuan tradisional masyarakat Tionghoa.

Peranakan Tionghoa selalu mengawetkan bahan makanan bila akan bepergian jauh sebagai bekal. Bukan hanya telur, jenis makanan lain juga diasinkan agar awet.

"Telur asin ini merupakan simbol dari resistensi ekonomi luar biasa. Dipakai untuk bertahan hidup. Setelah itu, baru diperkenalkan ke keluarga, perluasan jaringan, perkembangan itu menjadikan telur asin komersial. Sejarah ini hampir persis wingko babat," terangnya.

Halaman
12