Salah satu dampak yang dirasakan oleh pihak restoran adalah bahan baku makanan.
Bahan baku tak bisa dipakai utuh dan bisa terbuang sia-sia.
Jika bahan baku tidak digunakan dan rusak maka pihak restoran kembali menelan rugi.
“Orang-orang juga akan memilih untuk makan di rumah dan memasak sendiri dari bahan yang sudah dibeli, itu sebabnya kita tahu penjualan kita akan sangat turun jika tak dibuka dine in,” jelas Susanty.
Restoran yang dikelola Susantu sempat mengalami penurunan penjualan sampai 70 persen pada masa PSBB awal.
Saat PSBB transisi, usahanya mulai bangkit dan penjualan meningkat 10-20 persen.
Adanya PSBB yang diperketat, Susanty memprediksi penurunan penjualan sebesar 60 persen pada pekan pertama.
“Bisa 60 persen penurunan karena sudah tak ada yang dine in, ditambah orang-orang perkantoran yang WFH jadi semakin menurun penjualannya,” jelas Susanty.
Kini, ia kini memfokuskan layanan takeaway dan delivery order untuk mendongkrak penjualan.
Selain itu, ia juga terus berupaya menjaga kebersihan makanan dan karyawan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
• Ingin Dine In Deket Jakarta? Coba Kunjungi Restoran di Tangerang Selatan
• Terapkan Jarak Sosial, Restoran di Afrika Selatan Ubah Parkiran Jadi Tempat Makan
• Benarkah Makan di Restoran Berisiko Tinggi Tertular Covid-19?
• Alasan Jamur Truffle Harganya Sangat Mahal hingga jadi Menu Spesial di Restoran Kelas Atas
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Curahan Hati Pemilik Restoran akan Larangan Dine In di Jakarta.
Baca tanpa iklan