Dari proses mengaduk (hangudeg) ini, makanan yang diciptakan dari nangka muda ini disebut gudeg.
Sejarah gudeg juga tercatat dalam karya sastra Jawa Serat Centhini.
Dikisahkan pada 1600-an saat Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten.
Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan, dan salah satunya adalah Gudeg.
Gudeg sejatinya bukanlah makanan yang berasal dari lingkungan kerajaan, melainkan dari masyarakat.
Meskipun demikian, untuk menjadi makanan tradisional yang setenar saat ini, perlu proses yang panjang.
Diungkapkan Murdijati Gardjito, karena gudeg perlu waktu memasak yang lama, pada awal abad 19 di Yogyakarta sendiri belum begitu banyak orang berjualan gudeg.
Kemudian pada tahun 1940-an bersamaan dengan ide Presiden Soekarno membangun universitas di Yogyakarta (UGM), gudeg mulai berkembang dan banyak dikenal masyarakat.
Keinginan para mahasiswa luar daerah yang ingin menjadikan gudeg sebagai oleh-oleh menghadirkan gudeg kering yang dimasak di dalam kendil agar lebih tahan lama.
Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang.
Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.
Hingga saat ini gudeg telah menjadi ikon kuliner Yogyakarta, keberadaanya mudah ditemukan di setiap sudut kota Pelajar ini.
Gudeg pun telah berkembang dengan baragam varian.
• Gudeg Mbak Tum, Nasi Ayam Bu Sami, dan Rekomendasi 5 Kuliner Malam di Semarang
• Gudeg Yu Yah hingga Nasi Rames Demangan, Ini 10 Kuliner Malam di Jogja yang Harus Traveler Coba
• 7 Kuliner Malam di Jogja, Coba Sensasi Pedas Gudeg Mercon Bu Tinah yang Menggugah Selera
• Rekomendasi 5 Kuliner Malam di Semarang, Cobain Lezatnya Gudeg Mbak Tum
• 6 Kuliner Malam di Jogja yang Terkenal Pedas, Ada Gudeg Mercon hingga Entok Slenget
(TribunTravel.com/ Ayumiftakhul)
Baca tanpa iklan