Untuk sewa gerobak setiap hari dipatok Rp 500.
Suparman dan Tumini juga menyuplai mi basah sebagai bahan utama mi ayam.
Tahun 1990 keluarga ini dengan modal uang hasil menyewakan gerobak dan membuat mi basah, memberanikan membuka usaha mi ayam di Jalan Imogiri Timur No 187 Umbul Harjo, atau persisnya di sisi utara pintu masuk Terminal Giwangan.
Eko masih ingat dirinya setiap hari membantu ibunya untuk merintis usaha itu.
“Awalnya lakunya enggak banyak, hanya sekitar 38 sampai 30 porsi, dan 60 porsi untuk akhir pekan,” kata Eko.
Harga saat itu Rp 250 per mangkok mi. Lumayan untuk ukuran penjual mi ayam saat itu.
Pada tahun 1996, Suparman kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua pekan hingga akhirnya meninggal dunia.
Selama dua pekan warung mi ayam sempat mengalami kemunduran, karena saat itu fokus menunggu di rumah sakit, dan dipercayakan kepada kerabatnya.
Sehingga cara memasaknya pun berbeda.
Namun, seiring berjalannya waktu, warung mi ayam kembali laris.
Booming mi ayam Tumini dikenal sejak adanya media sosial sekitar awal tahun 2000-an.
Saat itu, penikmat mi ayam khas dengan kuah kental yang memiliki rasa manis, gurih membagikan ke dunia maya.
Sampai saat ini mi ayam setiap hari dikunjungi ratusan orang.
“Sejak ada medsos, YouTuber ikut (mereview mi ayam), akhirnya sampai keluar daerah. Ada Facebook ada, Twitter, dan Instagram,” ucap Eko.
Eko mengatakan, ibunya terus mempertahankan resep yang ditemukannya hingga kini.
Baca tanpa iklan