Kerumunan itu terlihat di foto yang diambil minggu lalu oleh Nirmal Purja, seorang mantan tentara Gurkha, yang berada di antrian panjang pendaki yang naik ke puncak.
Foto kerumunan mendaki puncak setinggi 14 8.000 meter di dunia dalam tujuh bulan telah menyebar dari pengguna Twitter @nimsdai-nya dan menyoroti bahaya di tengah trend untuk mendaki Everest.
"Banyak pendaki kehabisan oksigen," kata Chauhan.
"Beberapa pendaki meninggal karena kelalaian mereka sendiri. Mereka bersikeras mencapai puncak bahkan jika oksigen mereka habis, sehingga mempertaruhkan hidup mereka," katanya.
Pendaki lain yang juga pembuat film petualangan dan dokumenter, Elia Saikaly, memposting di Instagram pada hari Minggu (26/5/2019) ketika ia telah mencapai puncak Everest dan "tidak percaya apa yang ia lihat di sana".
• Jalur Pendakian Gunung Everest Macet, 3 Pendaki Meninggal Dunia
"Kematian. Kekacauan. Mayat di jalur dan di tenda. Orang-orang yang aku coba tong akhirnya mati. Orang-orang diseret ke bawah. Banyak pendaki berjalan di atas mayat," tulis Saikaly.
• Deretan Kasus Kematian Pendaki di Gunung Everest Awal Tahun 2019
Mountaineering telah menjadi bisnis besar sejak Edmund Hillary dan Tenzing Norgay melakukan pendakian pertama Everest pada tahun 1953.
Sejak saat itu, Gunung Everest menjadi populer di kalangan pendaki di seluruh dunia.
Izin yang ditetapkan pemerintah Nepal musim ini, tiket mendaki Gunung Everets dipatok harga USD 11 ribu atau sekitar Rp 158 juta.
Bisnis pendakian Everest meningkatkan mata uang asing yang sangat dibutuhkan bagi negara Himalaya itu.
Setidaknya, 140 orang lainnya diberikan izin untuk mendaki dari sisi utara di Tibet.
Akhir musim pendakian bulan Mei akan ditutup minggu ini, tapi jumlah pendaki yang naik ke Everest belum dirilis.
Korban tewas termasuk empat pendaki dari India dan masing-masing satu dari Amerika Serikat, Inggris dan Nepal.
Seorang pendaki gunung Irlandia diduga tewas setelah dia terpeleset dan jatuh di dekat ke puncak.
Pendaki Austria dan Irlandia lainnya tewas di sisi utara Tibet.