Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Menikmati Alunan Musik Jazz dari Sudut Pedesaan di Ngayogjazz 2018

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana perhelatan Ngayogjazz di Desa Gilangharjo, Pandak, Kabupaten Bantul, Sabtu (17/11/2018)

TRIBUNTRAVEL.COM - Dua belas tahun sudah berlalu, sejak Ngayogjazz pertama kali digelar pada tahun 2007 silam. Festival jazz yang dikemas dengan pesta rakyat ini terus eksis dan menggema di sudut pedesaan.

Pada gelaran yang ke-12, Ngayogjazz hadir dan berkolaborasi dengan masyarakat Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul.

Di ajang ini, pengunjung tak harus menjadi orang kaya, pintar dan "berkelas" untuk bisa menikmati alunan musik Jazz. Siapapun bisa datang dan bercengkerama dengan suasana santai.

Panggung acara bersifat terbuka dan menyatu dengan suasana pedesaan. Orang-orang bisa menikmati Jazz sambil menyantap jagung rebus, telo godog, cilok atau bahkan nasi kucing berlauk ikan teri dan tempe oseng.

Begitulah suasana di Ngayogjazz. Musik Jazz menjadi inklusif, baik sebagai produk musik maupun sebagai sebuah tontonan. Bisa dinikmati dari semua kalangan dari lintasan usia.

Di Ngayogjazz, musik Jazz seakan melebur dan berinteraksi dengan seni tradisi masyarakat. Semua itu bisa dilihat dari bentuk tatanan artistik, pembukaan sederhana dan model panggung yang dibuat terbuka dengan suasana pedesaan.

"Musik jazz bukan hanya sekadar tontonan tetapi juga sebagai peristiwa budaya sekaligus media pembentuk masyarakat pendukung produk seni," kata penggagas Ngayogjazz, Djaduk Ferianto.

Salah satu artistik yang ditampilkan dalam Ngayogjazz 2018 (Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin)

Djaduk menekankan bahwa desa merupakan salah satu ujung tombaknya dalam peradaban umat manusia. Sehingga, bukan tanpa alasan Ngayogjazz selalu digelar di tiap sudut pedesaan.

Bagi Djaduk, dalam setiap perhelatan Ngayogjazz, setiap desa dipilih bukan hanya sekadar objek tempat pelaksanaan, tetapi lebih dari itu, Desa menjadi mitra mutual, bagian dari pertunjukan itu.

Adanya kota selalu berasal dari desa.

"Orang desa jangan dilihat rendah. Orang kota kadang bodohnya minta ampun. Justru orang desa memiliki pemikiran luar biasa. Kami memilih desa karena sedang belajar kearifan lokal. Kami belajar pemikiran-pemikiran orang desa yang jenius," tutur Djaduk.

Tahun 2018, pada gelaran yang ke-12, Ngayogjazz mengusung tema "Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara". Tema ini dipilih sebagai respon dan jawaban atas fenomena yang berkembang dan tumbuh di masyarakat.

Menurut Djaduk, negara punya tatanan, tetapi Jazz memiliki cara sendiri untuk menghormati itu. Dalam arti yang lain, bagaimana manusia melihat tatanan negara, namun demikian, semua manusia, memiliki cara masing-masing untuk menghormati tatanan itu.

Perhelatan Ngayogjazz mengajak manusia untuk belajar menghormati kearifan lokal dan menggunakan musik jazz sebagai penghubung supaya dapat berbaur dan dan melebur bersama dengan masyarakat dan budaya daerah.

Bukan hanya musik, konsep itu tercermin juga dalam balutan artistik yang ada di gelaran Ngayogjazz. Seperti model artistik pada pintu masuk yang dibuat lebih rendah. Tujuannya, supaya manusia bisa menunduk, ndelosor.

"Dari artistik itu kita bisa belajar nilai. Etika dalam sopan santun ketika bertemu orang tua, harus menunduk.
Model begini, kita kerjakan dengan simpul-simpul yang lebih halus," terang dia.

Lebaran Musik Jazz

Pada perhelatan yang ke-12, Ngayogjazz sukses membius masyarakat Bantul dan kota Yogyakarta. Ribuan orang tumpah dan menikmati alunan musik Jazz dalam balutan suasana desa.

Menghadirkan lebih dari 40 kelompok musik dan ratusan seniman dari Indonesia dan mancanegara. Dari Perancis, Belanda, Spanyol hingga Italia.

Halaman
12