Menurut keterangan, hanya laki-laki saja yang dibolehkan untuk mengunjungi Desa Trunyan untuk membersikan tubuh jenazah sebagai ritual perpisahan.
Mereka bisa membersihkan tulang dengan air hujan dan kemudian membungkusnya dengan kain.
Namun pada bagian kepala dibiarkan terbuka.
Menurut keyakinan setempat, jika ada wanita yang berani memakamkan maka desa tersebut akan dilanda gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Uniknya lagi, meski dibiarkan membusuk di tanah jasad ini tak memunculkan aroma tak sedap.
Konon, sebuah pohon besar yang mengeluarkan aroma wangi di area ini yang mampu mengurangi bau busuk.
Pohon besar ini disebut sebagai Taru Menyan.
Bau harum dari pohon inilah yang menetralisir aroma tak sedap dari mayat.
Ketika anyaman bambu penuh maka akan dibuatkan lagi dan akan ditumpuk dengan jenazah yang baru.
Hanya yang benar-benar telah kering yang bisa dipindahkan ditumpukan batu altar.
Warga desa Trunyan percaya jika adat ini merupakan tradisi asli Bali yang sudah ada sejak jaman Majapahit pada tahun 1340.
Dikutip TribunTravel.com dari Kompas.com, ada tiga tempat pemakaman yaitu Sema Wayah untuk orang yang meninggal secara wajar.
Lalu Sema Nguda untuk bayi yang meninggal dan Sema Bantas untuk orang yang meninggal secara tidak wajar seperti kecelakaan.
Jika wisatwan ingin mengunjunginya maka bisa menjangkaunya dengan perahu.
Perahu bisa disewa dengan harga antara Rp 350.000 sampai Rp 500.000 dan bisa memuat hingga 7 orang.
Juga disediakan jaket pelampung dan pemandu dari penduduk setempat.
Desa Trunyan sendiri berada di Kabupaten Bangli, dekat dengan Kintamani.
Berminat untuk mengunjunginya?