Atau tak lazim melakukan pendakian karena kondisi cuaca.
Berbekal niat dan doa yang terus dipanjatkan, Asmujiono tetap menuju puncak.
Begitu sampai di puncak Gunung Everest, Nepal yang pertama kali dia lakukan adalah membuat pengamanan.
"Saya langsung membuat pengamanan dari tali. Karena memakai sarung tangan sulit menggerakkan jari-jari akhirnya saya lepas sarung tangan, begitu juga masker saya," ujar dia.
Setelah selesai membuat pengamanan, ia mencari bendera Indonesia dan topi baret.
Tak lama kemudian, ada badai yang datang dari arah China.
"Untung saya sudah buat pengamanan. Kalau tidak sudah diterjang badai ke arah China," kata dia.
Sayang, topi baret yang ia kenakan saat itu harus hilang karena badai.
Pria kelahiran 1 September ini tak bisa melupakan pengalamannya saat berada di peuncak tertinggi di dunia.
Meski sudah pensiun dari keanggotaan Kopassus, ia mengatakan, apabila ada yang mengajaknya untuk mendaki, ia tidak akan menolak.
Asmujiono juga dengan terbuka dengan kawan-kawan pendaki untuk sharing pengalaman seputar pendakian.
Ia juga berpesan kepada para pendaki, jangan coba-coba menaklukkan alam semesta.
Menurutnya, yang perlu ditaklukkkan adalah ketakutan yang ada pada diri sendiri.
"Sebelum berangkat saya sudah dapat hadiah rumah, tapi ukurannya hanya 1x1,2 meter. Ya itu kuburan saya," kata dia.
Bagi Asmujiono, mengunjungi Everest layaknya mendatanagi makam terbesar di dunia sebab banyak sekali pendaki yang tidak kuat dan harus meninggal di sana.