Breaking News:

Heboh 2 Pendaki Adu Jotos karena Rebutan Tempat Foto di Gunung Everest, Videonya Viral

Heboh dua pendaki pria adu jotos gegara rebutan tempat foto di Gunung Everest, videonya viral.

Penulis: Nurul Intaniar
Editor: Nurul Intaniar
Flickr/ Mário Simoes
Ilustrasi para pendaki Gunung Everest. 

TRIBUNTRAVEL.COM - Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan aksi pendaki Gunung Everest yang adu jotos soal hal sepele.

Rekaman video viral menunjukkan momen perkelahian antara dua pria di Gunung Everest yang ditonton oleh pendaki lainnya.

Baca juga: Musim Pendakian 2023 Jadi Salah Satu Tahun Paling Mematikan di Gunung Everest, Ini Penyebabnya

Usut punya usut, dua pendaki tersebut ternyata rebutan spot tempat berfoto di Gunung Everest.

Perkelahian itu terjadi Selasa lalu ketika dua pasangan berada di platform pandang di sebelah Monumen Pengukuran Ketinggian Everest.

Pemandangan Gunung Everest yang menakjubkan.
Pemandangan Gunung Everest yang menakjubkan. (Flickr/watchsmart)

Baca juga: Aksi Heroik Orang Sherpa Sukses Selamatkan Pendaki dari Zona Kematian Gunung Everest

Menurut media setempat, dua pendaki itu masih berbincang untuk saling mendiskusikan sudut terbaik buat foto mereka - hingga akhirnya keadaan berubah menjadi buruk.

Perdebatan segera berubah menjadi perkelahian mengenai tempat terbaik untuk mengambil foto.

Baca juga: Terungkap Sumber Suara Aneh & Menakutkan dari Gunung Everest di Malam Hari

Berdasarkan video yang viral di medsos, menunjukkan dua pria berkelahi sementara seorang wanita bermantel biru muda mencoba memisahkan mereka sebelum wanita lain menimpali dan berulang kali menendang salah satu pria itu.

Seorang petugas polisi perbatasan Everest dilaporkan menyadari keributan itu dan berhasil memisahkan para pria yang berkelahi.

Ilustrasi pendaki Gunung Everest
Ilustrasi pendaki Gunung Everest (Foto oleh Christopher Burns di Unsplash)

Baca juga: Akibat Pemanasan Global, Base Camp Gunung Everest Akan Dipindahkan

Menurut Daily Mail, tidak jelas apakah ada turis yang terlibat dalam perkelahian itu yang terluka, tetapi pihak-pihak yang terlibat telah ditahan dan sekarang sedang diselidiki terkait perkelahian tersebut.

"Pihak berwenang menangani kasus ini sesuai prosedur hukum dan akan memberikan informasi terbaru kepada publik pada waktunya," menurut sebuah pernyataan yang dikutip dari news.com.au.

2 dari 4 halaman

" rel="nofollow">Videonya di sini

Baca juga: Veteran Disabilitas Cetak Rekor Mendaki Gunung Everest dan Terjun Payung Pertama di Dunia

Tonton juga:

Berita lain - Fakta di Balik Zona Kematian Gunung Everest yang Sering Menelan Korban

Gunung Everest di Himalaya, Nepal, diklaim sebagai gunung tertinggi di dunia.

Untuk mencapai puncaknya, seseorang harus mendaki hingga ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Meski diselimuti salju dan dingin, banyak orang bermimpi untuk menggapai puncak Everest.

Namun sebelum sampai ke puncak tertinggi dunia, para pendaki harus menaiki tanjakan terakhir yang berada di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl.

"Zona kematian" bukan sembarang nama. Pasalnya, di ketinggian itu, kadar oksigen sangat tipis.

Orang berisiko tinggi kehabisan napas dan meninggal jika terlalu lama di sana.

Antusiasme pendaki membuat risiko itu bertambah buruk.

3 dari 4 halaman

Antrean pendaki mengular di dead zone.

Laporan BBC pada Oktober 2015 menyebutkan, setidaknya lebih dari 200 jenazah manusia telah ditemukan di dekat puncak Everest.

Namun, kenapa terjebak antrean di Everest bisa menyebabkan kematian?

Dilansir Science Alert, tubuh manusia tidak bisa "berfungsi" dengan baik jika berada di ketinggian tertentu.

Tempat paling ideal bagi manusia adalah di atas permukaan laut karena otak dan paru-paru kita cukup mendapat oksigen.

Sebaliknya, ketika pendaki terjebak di jalur zona kematian yang ada ribuan meter di atas permukaan air laut, otak dan paru-paru tidak mendapatkan cukup asupan oksigen.

Situasi seperti ini dapat mengakibatkan risiko serangan jantung dan stroke, serta menurunkan konsentrasi.

Seorang pendaki bernama David Breashers membenarkan hal ini.

Menurut dia, pendaki Everest akan mengalami kesulitan bernapas begitu sampai di zona kematian.

Tak usah jauh-jauh ke puncak Everest.

4 dari 4 halaman

Bayangkan saja jika kamu berada di puncak gunung dengan ketinggian di atas 3.000 meter, pasti juga akan sulit bernapas karena udara tipis.

Sebuah riset mengatakan, saat berada di ketinggian sekitar 3.657 mdpl, kadar oksigen berkurang 40 persen.

Coba bayangkan bagaimana kondisi udara di ketinggian 8.000 mdpl seperti puncak Everest.

Dalam ekspedisi Caudweel Xtreme di Everest tahun 2007, dokter Jeremy Windsor mengambil sampel darah dari empat pendaki yang sedang mengantre di zona kematian. Dia menemukan, cara bernapas mereka sama seperti orang sekarat.

Adaptasi tubuh

Kekurangan oksigen memicu berbagai masalah kesehatan.

Ketika jumlah oksigen dalam darah anjlok, detak jantuk akan melonjak sampai 140 detak per menit.

Kondisi ini akan meningkatkan risiko serangan jantung.

Pendaki butuh waktu untuk bisa aklimitisasi atau adaptasi dengan kondisi di Everest sebelum mencapai puncaknya.

Setidaknya lakukan tiga kali pendakian gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 5.000 mdpl dalam setahun.

Ketika hal ini dilakukan dan tubuh mulai beradaptasi, secara alami tubuh mulai membuat lebih banyak hemoglobin atau protein dalam sel darah merah yang membantu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Hal ini berguna untuk mengkompensasi perubahan ketinggian.

Kondisi di zona kematian

Namun perlu diingat, jika tubuh terlalu banyak memproduksi hemoglobin maka akan berisiko mengubah darah jadi kental.

Darah yang kental akan sulit dipompa dari jantung ke seluruh tubuh.

Hal ini memicu munculnya stroke dan paru-paru basah, atau dinamakan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).

Gejala HAPE antara lain kelelahan, sesak napas pada malam hari, dan kerap merasa lemah.

Penderita HAPE juga bisa batuk mengeluarkan cairan putih, berair, atau berbusa.

Jika batuk seperti ini cukup parah, bisa membuat tulang rusuk patah.

Seseorang yang menderita HAPE biasanya memiliki napas pendek.

Windsor mengungkap, pendaki yang mengantre di zona kematian, napasnya mirip orang yang sedang sekarat.

Saat seseorang sulit bernapas, artinya sedikit oksigen yang masuk ke dalam aliran darah dan diterima organ seperti otak.

Otak yang tidak cukup mendapat oksigen akan mengalami pembengkakan sehingga membuat mual dan mulai halusinasi.

"Hipoksia (kurangnya sirkulasi oksigen ke organ tubuh, seperti otak) terjadi karena pendaki gagal beradaptasi di zona kematian," ungkap pakar ketinggian Peter Hackett.

Hackett menerangkan, ketika otak tidak mendapat cukup oksigen akan memicu High Altitude Cerebral Edema (HACE).

HACE inilah yang memicu munculnya rasa mual, lelah, sulit berpikir, hingga mengalami halusinasi.

TribunTravel/nurulintaniar

Kumpulan artikel viral

Selanjutnya
Tags:
Gunung Everestpendakiviral Cromboloni Dhawank Delvi Syakirah
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved