TRIBUNTRAVEL.COM - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali melarang pengunjung makan di tempat (dine in) sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperketat mulai Senin (14/9/2020).
Kebijakan ini disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat konferensi pers di Balai Kota, Jakarta Pusat yang disiarkan melalui Youtube Pemprov DKI, Minggu (13/9/2020).
“Karena dadakan informasinya (PSBB) kita sebagai pelaku restoran shock (kaget)," jelas Ketua Asosiasi Lisensi Indonesia (ASENSI) dan Ketua Pengembangan Resto PHRI, Susanty Widjaya kepada Kompas.com, Senin (14/9/2020).
"Kita sudah mulai bangkit, sudah mulai buka, sudah ada kenaikan, tapi belum normal. Eh kita harus PSBB lagi,” lanjutnya.
Susanty merupakan CEO dari beberapa restoran seperto Bakmi Naga Resto, Batavia Cafe, Batavia Coffee, B Cafe, Dapur Batavia, Mie & Batavia, dan Bebek Garing.
Ia mengatakan, keputusan tersebut membawa dampak yang luar biasa bagi para pelaku usaha kuliner.
Sebab saat masa transisi pelaku restoran sudah memaksimalkan inovasi untuk mendongkrak penjualan yang sempat turun saat PSBB pertama.
“Semua itu kita lakukan sebagai upaya agar pengunjung datang dan bisa tetap dine in dengan tetap mengikuti protokol kesehatan di restoran," papar Susanty.
"Lalu saat ini diberlakukan aturan tidak boleh dine in, hal ini dapat menggerus penjualan serta dipastikan (penjualan) menurun,” lanjutnya.
Ia juga memaparkan bahwa PSBB kali ini juga berdampak bagi karyawan yang sudah mulai memupuk harapan untuk bisa bekerja kembali.
Sayangnya harus tertunda karena PSBB yang diperketat.
Susanty menceritakan, para pelaku restoran lain juga mengeluh atas aturan yang dilayangkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun demikian mereka paham serta mendukung kebijakan untuk menekan angka penyebaran kasus Covid-19.
“Seharusnya kalau mau lebih ketat dari Maret lalu saat PSBB pertama dilakukan. Jangan setengah-setengah seperti ini, karena dampak akan terasa kepada bisnis restoran dan kuliner,” jelasnya.
Dampak yang terasa dari larangan dine in restoran
Salah satu dampak yang dirasakan oleh pihak restoran adalah bahan baku makanan.
Bahan baku tak bisa dipakai utuh dan bisa terbuang sia-sia.
Jika bahan baku tidak digunakan dan rusak maka pihak restoran kembali menelan rugi.
“Orang-orang juga akan memilih untuk makan di rumah dan memasak sendiri dari bahan yang sudah dibeli, itu sebabnya kita tahu penjualan kita akan sangat turun jika tak dibuka dine in,” jelas Susanty.
Restoran yang dikelola Susantu sempat mengalami penurunan penjualan sampai 70 persen pada masa PSBB awal.
Saat PSBB transisi, usahanya mulai bangkit dan penjualan meningkat 10-20 persen.
Adanya PSBB yang diperketat, Susanty memprediksi penurunan penjualan sebesar 60 persen pada pekan pertama.
“Bisa 60 persen penurunan karena sudah tak ada yang dine in, ditambah orang-orang perkantoran yang WFH jadi semakin menurun penjualannya,” jelas Susanty.
Kini, ia kini memfokuskan layanan takeaway dan delivery order untuk mendongkrak penjualan.
Selain itu, ia juga terus berupaya menjaga kebersihan makanan dan karyawan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
• Ingin Dine In Deket Jakarta? Coba Kunjungi Restoran di Tangerang Selatan
• Terapkan Jarak Sosial, Restoran di Afrika Selatan Ubah Parkiran Jadi Tempat Makan
• Benarkah Makan di Restoran Berisiko Tinggi Tertular Covid-19?
• Alasan Jamur Truffle Harganya Sangat Mahal hingga jadi Menu Spesial di Restoran Kelas Atas
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Curahan Hati Pemilik Restoran akan Larangan Dine In di Jakarta.