Breaking News:

Hobi Selfie di Lokasi Bencana Bisa Jadi Tanda Gangguan Mental, Apa Benar?

Melakukan selfie atau wefie bukanlah hal yang baru di Indonesia, terlebih di lokasi bencana sekalipun.

Penulis: Ratna Widyawati
Editor: Sinta Agustina
mashable
Selfie di lokasi bencana 

TRIBUNTRAVEL.COM - Melakukan selfie atau wefie bukanlah hal yang baru di Indonesia, terlebih di lokasi bencana sekalipun.

Tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, beberapa petugas juga melakukannya.

Dalam dunia medis, pelaku selfie yang sudah berlebihan disebut sebagai selfitis.

Ilustrasi
Ilustrasi (shefinds.com)

Kondisi ini membuat pengidapnya seperti memiliki kebutuhan besar untuk memotret dirinya sendiri dan mengunggahnya di media sosial.

Istilah ini diciptakan oleh para ahli dari American Psychiatric Association pada 2014 untuk menggambarkan obsesi berlebihan untuk melakukan selfie.

Pakar media sosial mengatakan bahwa hal tersebut wajar adanya mengingat perkembangan media sosial yang melejit pesat.

Tonton juga: 

Sedangkan banyak juga orang yang menganggap kejadian tersebut merupakan hal yang tidak wajar.

Orang yang mengambil selfie pada lokasi bencana dianggap tidak memiliki empati kepada korban.

Selain itu, mereka juga membahayakan diri sendiri dengan tidak waspada.

2 dari 4 halaman

Lantas apakah perilaku tersebut termasuk tanda-tanda gangguan mental?

Berikut penjelasannya yang telah dirangkum TribunTravel dari beberapa sumber:

1. Selfie Bencana

selfie
selfie (brightside.me)

Ahli media dari Queen Mary University di Inggris, Yasmin Ibrahim menyebut fenomena ini sebagai “selfie bencana” atau “pornografi bencana” dan mendefinisikannya sebagai “perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri, dengan situasi pasca bencana sebagai latar belakang”.

Seorang psikoanalis terkemuka, Carl Jung, berpendapat secara alamiah, manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal tersebut menghibur diri kita, namun kita tidak secara langsung terkena dampaknya.

Dengan melihat penderitaan orang lain, kita diberi kesempatan untuk menghakimi dan menertawakan orang lain, sementara kita terbebaskan dari merasakan penderitaan.

Carl Jung menciptakan sebuah istilah yang dikenal sebagai corpse preoccupation untuk merujuk pada keinginan seseorang untuk menyaksikan hal-hal yang aneh dan mengerikan.

Jung percaya bahwa di dalam setiap manusia, ada yang disebut sebagai bayangan (shadow) yang mewakili sisi manusia yang paling gelap.

Dia berpendapat semakin kita menekan bayangan tersebut, semakin kuat bayangan tersebut dalam mempengaruhi perilaku kita.

Itulah sebabnya sulit bagi kita untuk menghindari godaan untuk tidak melihat penderitaan orang lain.

3 dari 4 halaman

Melihat kesengsaraan orang lain menjadi sulit untuk ditolak, karena tindakan tersebut memenuhi kepuasan diri untuk membiarkan si bayangan berkuasa, tanpa kita perlu melakukan kejahatan apapun.

2. Gejala Patologi Sosial

Sejumlah warga menyaksikan asap disertai abu vulkanis keluar dari kawah Gunung Agung yang masih berstatus awas.
Sejumlah warga menyaksikan asap disertai abu vulkanis keluar dari kawah Gunung Agung yang masih berstatus awas. (ANTARA FOTO/NYOMAN BUDHIANA)

Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Frankie Budi Hardiman dari Sekolah Tinggi Filasafat Driyakarya, tanpa disadari diri kita memiliki keinginan tak mau tahu.

Hal ini bersifat asing, menghakimi, egosentris, dan eksploitatif  yang mengarah pada kegiatan menonton suatu bencana, seseorang bahkan tidak memiliki keinginan untuk memberi pertolongan.

Namun, hal ini menjadi lebih parah dan miris ketika tindakan tersebut dibarengi dengan mengambil selfie pada lokasi bencana.

Hal tersebut merupakan pertanda masalah moral yang serius.

Kelakuan tersebut diidentifikasikan sebagai gejala patologi sosial atau hilangnya rasa empati.

3. Mencari Eksistensi

Selfie di lokasi bencana
Selfie di lokasi bencana (mashable)

Kebanyakan pelaku selfie di lokasi bencana berdalih mereka melakukan hal tersebut sebagai bukti mereka benar-benar ada di sana dan menyalurkan bantuan.

Namun, di balik hal tersebut terdapat niat lain.

4 dari 4 halaman

Niat tersebut adalah menunjukkan eksistensi karena foto tersebut bukan hanya dikirim kepada orang yang bersangkutan, namun juga diunggah ke media sosial yang bersifat publik.

Selain itu, hal ini juga ditandai oleh ekspresi ceria para pelaku selfie yang tidak menunjukkan empati terhadap para korban.

Hal ini justru menandakan mereka sedang pamer dan berbangga diri karena bisa foto di lokasi bencana.

Ini sudah dapat dikategorikan sebagai gangguan mental.

4. Keselamatan

Ilustrasi Bencana Alam
Ilustrasi Bencana Alam (tapoos.com)

Selain masalah kejiwaan atau gangguan mental, mengambil selfie di tempat bencana merupakan perilaku yang berbahaya dan mengancam nyawa.

Para pelaku bahkan tidak memikirkan bahaya yang sedang mengancam di depan matanya karena lebih mementingkan kepuasan pribadi.

Bukan hanya itu, melakukan selfie di tempat bencana juga akan mengganggu proses evakuasi.

Kerja para relawan dan timsar akan terhambat dengan adanya orang yang hanya sibuk berfoto dan mencari latar belakang yang pas.

Tanpa disadari perilaku ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan  juga terjadi di beberapa negara dan menimbulkan pro dan kontra.

10 Pesawat Terbang Paling Bersih di Dunia, Maskapai di Asia Mendominasi

Perempuan ini Diserang oleh Seekor Jaguar saat Mencoba Selfie dengan Memanjat Pagar Pembatas

Banyak Kematian Akibat Selfie, Pejabat Irlandia Usulkan Kursi Selfie di Tempat-tempat Wisata

(TribunTravel.com/ Ratna Widyawati)

Selanjutnya
Sumber: Tribun Travel
Tags:
TribunTravel
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved