Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Fenomena kanibalisme telah ada sejak zaman manusia purba.
Sebagian orang melakukannya karena kelangkaan bahan makanan, lainnya sebagai bentuk tradisi.
Sebagai contoh, beberapa daerah Mesopotamia kuno dan India, melakukan kanibalisme sebagai obat.
Mereka beranggapan jika memakan bagian tubuh manusia dapat berperan penting dalam memperpanjang hidup seseorang.
Gladiator di Roma kuno dikenal suka minum darah lawan mereka yang kalah dengan harapan menyerap vitalitas, kekuatan, dan keterampilan tempur mereka.

Dilansir TribunTravel.com dari laman thevintagenews.com, praktik kanibalisme mulai meluas di Eropa pada awal abad ke-17.
Pada saat itu banyak masyarakat mempercayai berbagai metode aneh untuk menyembuhkan penyakit.

Satu metode yang mereka gunakan dengan mengkonsumsi sisa-sisa tubuh manusia.
Mereka meyakini darah segar manusia mampu meremajakan peminumnya.
Dokter Swiss-Jerman bernama Paracelsus bahkan mendorong orang-orang membeli sejumlah kecil darah dari orang yang baru saja meninggal dunia.
Darah dianggap paling berharga karena dianggap mengandung esensi kehidupan yang murni.
Lemak manusia juga biasa digunakan.
Dokter menggunakannya untuk mengobati berbagai luka.
Banyak penjual obat yang tidak memiliki gelar di bidang farmasi atau pengetahuan tentang anatomi manusia mengiklankan darah sebagai obat untuk semua jenis penyakit.

Namun, meskipun darah dan lemak cukup populer, tidak ada yang bisa melampaui popularitas tulang bubuk atau potongan mumi.
Tulang, terutama bagian tengkorak dianggap sebagai obat ampuh untuk sakit kepala, epilepsi, perdarahan internal, arthritis, dan sifilis.
Orang-orang dari semua kelas bersedia bergantung pada kemanjuran obat-obatan seperti itu.
Sebut saja Charles II, raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia.
Dia bahkan meramu toniknya sendiri yang dijuluki "The King's Drops".
Tonik itu berisi potongan-potongan tanah dari tengkorak yang dicampur dengan alkohol dan dilaporkan cukup populer di kalangan aristokrat saat itu.
Orang-orang Eropa kuno percaya sisa-sisa mumi yang diawetkan mengandung khasiat penyembuhan mistik.

Beruntung praktik konsumsi mumi ini mulai ditinggalkan pada abad 18 dan 19 sejak ditemukannya obat-obatan berdasarkan penelitian ilmiah.