Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali mengguncang dunia.
Kali ini berkat pernyataan resminya yang mengakui jika Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Dia bahkan mengumumkan rencana pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pengumuman itu tak pelak semakin memanaskan konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina.
Bahkan membuat para pemimpin dunia seperti Arab, Turki, bahkan Indonesia menolak tegas penyataan itu.
Dilansir TribunTravel.com dari laman nytimes.com, sebenarnya konflik di Yerusalem sudah terjadi selama ribuan tahun.
Mulai dari zaman Alkitab, Kekaisaran Romawi, sampai Perang Salib.
Namun kini, konflik lebih berakar pada kolonialisme, nasionalisme, dan anti semitisme.
Berikut beberapa momen perang yang pernah terjadi di Yerusalem hingga kemudian Israel menganggapnya sebagai ibukota.
1. 1917-1948: Mandat Inggris
"Bagi Inggris, Yerusalem sangat penting - mereka adalah orang-orang yang mendirikan Yerusalem sebagai ibu kota," kata Prof. Yehoshua Ben-Arieh, ahli geografi sejarah di Hebrew University.
Tiga dekade pemerintahan Inggris di Yerusalem, mereka mulai menyadari masuknya pemukim Yahudi ke sana.
Keberadaan orang-orang Yahudi yang datang karena pandangan Zionisnya yang mengganggap Yerusalem sebagai tanah air Yahudi.
Sementara penduduk Arab setempat menyesuaikan diri dengan kenyataan runtuhnya Kekaisaran Ottoman, yang telah memerintah kota tersebut sejak 1517.
"Zionisme banyak yang menetap di Yerusalem, terutama Kota Tua," kata Amnon Ramon, peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Yerusalem.
Banyak Zionis awal adalah kaum sosialis yang berasal dari Eropa dan pelarian perang.
Mereka melarikan diri dari perang dan bermukim di Yerusalem serta Tel Aviv.
Sementara, Bangsa Palestina yang memiliki tanah itu hanya bisa menyesuaikan diri dengan banyaknya migrasi Yahudi.
Sampai kemudian konflik mulai terjadi.
Banyak yang tidak setuju dengan keberadaan Yahudi di sana.
Akibatnya beberapa kerusuhan mematikan sering terjadi.
Hingga kemudian pemerintah Inggris membuat peraturan pembatasan imigrasi.
Pembatasan itu berlaku pada 1939 dimana mampu menghalangi banyak orang Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust untuk masuk ke Yerusalem.
Setelah berbagai perang, pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui sebuah rencana partisi yang menyediakan dua negara - satu Yahudi, satu Arab - dengan Yerusalem yang diatur oleh "rezim internasional khusus" karena statusnya yang unik.
2. 1948-1967: Kota Terbagi
Orang-orang Arab menolak rencana pembagian dan sehari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 1948, negara-negara Arab menyerang negara baru tersebut.
Di tengah konflik kekerasan yang dilakukan oleh milisi dan massa di kedua sisi, sejumlah besar orang Yahudi dan Arab mengungsi.
Yerusalem terbagi menjadi dua, bagian barat menjadi bagian dari negara baru Israel (dan ibukotanya, di bawah hukum Israel disahkan pada 1950), sedangkan bagian timur, termasuk Kota Tua, diduduki oleh Yordania.
"Bagi orang-orang Palestina, ini dilihat sebagai titik temu," kata Profesor Dumper.
Israel dan Yordania, katanya, sebagian besar terfokus di tempat lain.
Israel membangun daerah pesisir yang makmur - termasuk Haifa, Tel Aviv dan Ashkelon - ke dalam zona komersial yang berkembang, sementara raja Yordania, Abdullah I, berfokus pada pengembangan ibukota Amman, Yordania.
3. 1967-1993: Dua Perang dan Intifadah
Sejak menjadi negara, Israel terus melakukan serangan.
Satu yang terbesar adalah Perang Arab-Israel pada 1967.
Dimana Israel tidak hanya berhasil mengalahkan tentara Arab yang menyerang tetapi juga menguasai Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir; Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania; dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
"Poin terpenting yang membuat Israel berjaya pada 1967 adalah kemenangan besar mengalahkan negara Arab dan keberhasilan menduduki Kota Tua," kata Menachem Klein, seorang ilmuwan politik di Universitas Bar-Ilan di Israel.
Kemenangan partai Likud pada 1977, di bawah kepemimpinan Menachem Begin, membantu memperkuat penekanan baru pada Yerusalem sebagai bagian integral dari identitas Israel.
Puncaknya terjadi pada 1980, ketika anggota parlemen mengeluarkan sebuah undang-undang yang menyatakan "Yerusalem, lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel" .
Meski demikian Israel awalnya ragu-ragu untuk terlalu fokus pada Yerusalem, apalagi setelah mendapat tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Eropa, menurut Issam Nassar, seorang sejarawan di Illinois State University.
Namun kemudian mereka mulai menjalankan taktiknya.
Israel mulai memindahkan banyak fungsi pemerintahan ke Yerusalem selama dua dekade.
4. 1993-sekarang: Oslo dan seterusnya
Perjanjian Oslo pada 1993 mengatur pembentukan Otoritas Palestina untuk memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza, sambil menunda resolusi mengenai isu-isu utama: perbatasan, pengungsi dan status Yerusalem.
Dalam hampir seperempat abad sejak penjanjian itu diberlakukan, prospek kesepakatan damai yang langgeng tampaknya semakin sulit dipahami.
Kunjungan oleh politisi sayap kanan Ariel Sharon pada 2000 ke kompleks suci yang dikenal orang Yahudi sebagai Bukit Kuil dan Muslim sebagai Tempat Suci - yang berisi Masjid Al Aqsa dan Kubah Batu - memicu bentrokan dengan kekerasan dan menyebabkan sebuah pemberontakan kedua Palestina yang merenggut nyawa sekitar 3.000 warga Palestina dan 1.000 Israel selama lima tahun.
Orang-orang Palestina mengatakan pemukim Yahudi telah merambah Yerusalem Timur, dan Israel telah menambah masalah dengan mencabut izin tinggal .
Meski begitu, komposisi etnis penduduk Yerusalem tetap sekitar 30 persen sampai 40 persen Arab.
"Seluruh masyarakat internasional telah sepakat jika aneksasi dan penyelesaian Israel di Yerusalem Timur sejak 1967 adalah ilegal, dan menolak untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel," Profesor Khalidi mengatakan.
"Jika Trump mengubah posisi ini, mengingat pentingnya Yerusalem bagi orang Arab dan Muslim, sulit untuk melihat bagaimana kesepakatan Palestina-Israel yang berkelanjutan atau normalisasi tradisional Arab-Israel yang mungkin terjadi."
Profesor Ben-Arieh mengatakan konflik di atas kota cenderung akan bertahan.
"Konflik Arab-Yahudi meningkat menjadi konflik nasionalistik, dengan Yerusalem berada di pusatnya," katanya.
"Yerusalem adalah kota yang suci bagi tiga agama, namun saat itu, di tanah Israel, dua negara berkembang - orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab setempat - keduanya memeluk Yerusalem. Lebih dari Yerusalem membutuhkan mereka, mereka membutuhkan Yerusalem."