TRIBUNTRAVEL.COM - Bagi sebagaian besar warga Cangkringan Sleman Yogyakarta, peristiwa erupsi Merapi tahun 2010 silam menyisakan banyak kisah tragedi yang pilu.
Keganasan sang maha dahsyat memporak porandakan hampir seluruh wilayah di sekitar lereng Merapi, tak terkecuali Dusun Petung.
Dusun Petung terletak di wilayah Kepuharjo, Cangkringan Sleman Yogyakarta.
Dusun ini menjadi satu sasaran amuk wedhus gembel (awan panas).
Namun kegigihan masyarakat Petung, menyebabkan dusun tersebut cepat berbenah dan kembali menata kehidupannya.
Santorini, Maldives, Galapagos, Bali, dan 12 Pulau Terbaik di Dunia Versi US News Travel https://t.co/CkcIBXSgdm via @TribunTravel
— Tribun Travel (@TRIBUNTravel) August 1, 2017
Satu cara masyarakat Petung untuk kembali memulihkan keadaan ekonominya ialah dengan cara membuka tempat-tempat wisata yang dikelola dan melibatkan warga sekitar.

Sebagai dusun yang terkena imbas dampak keganasan Merapi, beberapa rumah tokoh masyarakat yang dihormati, kemudian di bersihkan dan dijadikan sebuah monumen atau galeri.
Satunya berada di bekas rumah Mbah Lurah Petung.
Sesuai namanya, tempat tersebut dulunya merupakan tempat tinggal seorang Lurah (kepala desa) Desa Petung.
"Tempat ini dulunya merupakan rumah dari mbah lurah Ngatmo Wagito. Lalu oleh warga dan saudara-saudaranya dibersihkan dan dibuatlah sebuah monumen kenang-kenagan untuk menghormati beliau," papar Sokirah seorang penjual makanan di sekitar lokasi tersebut.
Menurut penjelasan Sokirah, semasa hidupnya, Ngatmo Wagito sebagai seorang kepala desa mempunyai peran besar dalam memajukan desa petung tersebut.

Ia juga yang menyebabkan Desa Petung dan wilayah Kepuharjo pernah diberi penghargaan Kalpataru oleh Presiden Soeharto pada tahun 1982.
"Mbah Lurah itu orangnya, tegas, berwibawa dan bijaksana, ia banyak berkorban dan menyumbangkan banyak ide bagi masyarakat di desa ini, tambah Sokirah.
Ia juga menyampaikan pengaliran air dari sungai Bebeng ke Dusun Petung dan Kepuharjo merupakan ide dari Ngatmo Wagito tersebut.
Bagi masyarakat di dusun Petung dan desa Kepuharjo, jasa mbah lurah tersebut terus dikenang hingga turun temurun.
Atas beberapa ide dari warga dan keluarga mbah lurah, pada tahun 2016 lalu, rumah yang tadinya tertimbun tanah hampir separuh bangunanya tersebut mulai dibersihkan dan barang-barang yang sudah hangus terbakar dirumah tersebut mulai dikumpulkan dan ditata kembali.
"Para warga dan sanak keluarganya tidak rela jika rumah mbah lurah tersebut akhirnya hanya tertimbun abu dan tanah, lalu menjadi hutan dan terbengkelai begitu saja. Oleh karena itu, pada awal tahun 2016, mereka bergotong royong bersama membuka tempat tersebut sebagai sebuah monumen," kata Sokirah.

Pada bangunan seluas 44 x 44 meter tersebut, traveler dapat menjumpai sisa-sisa barang yang telah hancur meleleh terkena Wedhus Gembel (awan panas).
Bahkan bangunan depan rumah tersebut tinggal menyisakan reruntuhan tiang-tiang penyangga atap rumah.
Beberapa sisa tulang hewan ternak milik anak dari Ngatmo Wagito dikumpulkan dalam sebuah tempat, dan hanya dua kerangka sapi yang dapat disusun utuh.
Semua perabot rumah tangga di rumah tersebut, sudah hangus terbakar, bahkan ada sebuah TV kira-kira 21 inch yang juga ikut meleleh akibat terjangan panasnya wedhus gembel.

Semua ruangan yang ada dalam rumah tersebut dinding-dindingnya hangus terbakar.
Yang menarik ialah, dalam rumah tersebut terdapat sebuah kamar berukuran lebih kecil dari kamar-kamar lainnya, yang menurut Sokirah ruangan tersebut adalah kamar dari Mbah Lurah atau Ngatmo Wagito.
Di dalam kamar sederhana tersebut terdapat sebuah meja kecil yang konon menurut Sokirah, meja tersebut sehari-hari digunakan Ngatmo Wagito untuk meletakan rokok asbak dan cangkir-cangkir kopi.
"Kadang saya kalau masuk ke dalam rumah tersebut sering mencium aroma kopi, saya awalnya tidak tahu maksud dari bau aroma tersebut, lalu lama kelamaan, saya berinisiatif saat bau kopi itu tercium, saya otomatis membikin secangkir kopi lalu meletakkannya di meja kecil tersebut," ujarnya.

Sokirah juga mengatakan, kebanyakan pengunjung yang datang ke bekas rumah kepala desa tersebut adalah wisatawan dari manca negara.
"Kebanyakan orang-orang yang datang ke sini adalah wisatawan dari berbagai negara, mereka tertarik untuk melihat bekas-bekas efek dahsyatnya letusan gunung Merapi," pungkasnya.
Untuk menuju ke lokasi bekas rumah kepala desa atau mbah lurah ini, dari Kota Yogyakarta kamu bisa melewati Jalan Pakem menuju ke Cangkringan, ikuti jalan hingga masuk ke desa Petung, setelah ada papan penunjuk jalan bertuliskan desa wisata Petung, bisa belok ke kanan atau menuju ke arah timur, ikuti terus jalan tanah terjal berbatu, dan letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Stonehenge di Cangkringan.
TRIBUN JOGJA/ Gilang Satmaka