Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Bali menyimpan pesona yang menakjubkan.
Tak cuma alamnya yang indah, tapi juga masyarakatnya yang beragam.
Di antara sekian banyak desa di Bali, ada satu wilayah yang dikenal sebagai Deaf Village.
Desa ini bukan menggunakan bahasa Indonesia sebagai percakapan sehari-hari, melainkan komunikasi dalam kata kolok
Dilansir TribunTravel.com dari laman odditycentral.com Desa Benggala, mengembangkan bahasa isyarat yang dikenal sebagai kolok sebagai percakapan sehari-hari.
Uniknya bahasa isyarat itu sudah ada sejak berabad-abad silam,
Penduduk desa yang memiliki kekurangan pendengaran alias tuna rungu selalu diperlakukan dengan hormat di sini.

Jika dibandingkan wilayah lain, jumlah tuna rungu di Benggala 15 kali lebih tinggi.
Inilah yang kemudian membuat bahasa tubuh lebih diutamakan ketimbang kata-kata.
Tinggi penderita tuna rungu ingin disebabkan oleh gen resesif DFNB3 yang hadir selama lebih dari tujuh generasi.
Biasanya orang tua dengan pendengaran normal memiliki anak yang tuna rungu.
Atau orang tua yang tuna rununga memiliki anak dengan pendengaran normal.

Tapi tetap saja tak ada bentuk diskriminasi di desa ini.
Semuanya diperlakukan sama.
Beberapa desa di Bali bahkan menganggap gangguan pendengaran bukan sebagai kelainan melainkan hadiah dari Dewa Kolok.
Dia diyakini tinggal di kuburan lokal untuk mengawasi dan melindungi rakyatnya.

Legenda lain menyebutkan jika gangguan pendengaran sebagai kutukan.
Cerita yang paling terkenal adalah kisah dua orang berkekuatan sihir yang saling menyerang satu sama lain.
Mereka kemudian saling mengutuk dan menjadi tuli.
Arti Benggala sendiri adalah tempat bagi seseorang untuk bersembunyi.
Kini, penduduk desa Benggala membentuk komunitas di desa khusus bagi tuna rungu dan tuna wicara.
Mereka bukan dikasihani, melainkan dianggap memiliki fisik yang kuat, ulet, setia dan jujur,
Kualitas mereka begitu dikenal dan sering menjadi pelindung di desa,
Mereka biasanya direkrut sebagai hansip atau pecalang, penjaga keamanan Bali.
Kolok, begitulah sebutannya, dikenal lebih disiplin dan efisien dibanding penjaga lainnya.
Jika diminta datang jam 7 maka mereka akan datang lebih awal.
Mereka juga punya memori yang baik untuk menceritakan sejarah desa.
Kolok bahkan dikenal cukup agresif dalam menghadapi sesuatu yang dianggap tidak adil.
Berkomunikasi dengan mereka juga tergolong mudah.
Ini karena semua penduduk desa sudah diajari bahasa isyarat sejak bertahun-tahun.
Orang-orang Benggala bahkan menjadikan Kolok sebagai bahasa kedua.
Guru yang ada di sekolah juga mengajarkan pelajaran menggunakan dua metode, mereka berbicara sembari melakukan bahasa isyarat.
Keunikan dari desa inilah yang kemudian menarik minat wisatawan, peneliti dan sosiolog untuk datang dan belajar budaya yang ada di Benggala.