Laporan Wartawan TribunTravel.com, Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Apakah kamu pernah mendengar tentang tempat yang sempurna untuk mengakhiri hidup?
Hutan Aokigahara di Jepang, satu di antaranya.
Mungkin terdengar aneh, bagaimana bisa hutan menjadi lokasi yang populer untuk melakukan bunuh diri.
Dilansir TribunTravel.com dari laman mysteriousfacts.com, statistik menunjukkan, jika setiap tahunnya ada sekitar 100 orang yang melakukan bunuh diri di sana.
Pada 2010, sekitar 247 percobaan bunuh diri terjadi dan berhasil membunuh setidaknya 54 orang.

Hasil inilah yang kemudian mengukuhkan hutan Aokigahara sebagai tempat paling populer kedua di dunia untuk bunuh diri.
Aokigahara terletak di dasar gunung ikonik Jepang, Fuji yang dikenal sebagai lautan hutan karena vegetasi yang lebat.
Pemandangan yang ditawarkan sebenarnya sangat mengagumkan, sampai wisatawan menyadari ada banyak papan peringatan yang tertulis dalam bahasa Jepang.
"Hidup kamu adalah hadiah berharga dari orang tuamu."
"Pikirkan tentang anak-anakmu, tentang keluargamu."
"Silakan konsultasi kepada polisi sebelum kamu memutuskan untuk mati."
Begitulah isi dari papan yang terpasang di beberapa bagian dalam hutan.

Sayang, papan ini tak berhasil menghentikan tindakan mereka untuk melakukan bunuh diri.
Cara umum untuk mengakhiri hidup biasanya dengan cara gantung diri atau overdosis obat.
Kondisi hutan yang begitu lebat membuat suara keras yang dihasilkan tidak terdengar.
Selain itu, endapan tanah yang sebagian besar berasal dari kandungan besi membuat kompas tak berfungsi di sini.

Penduduk setempat mengatakan, jika kebiasan bunuh diri di tempat ini terkait pada mitos abad ke-19.
Pada zaman dahulu, tempat ini menjadi lokasi sempurna bagi keluarga yang ingin meninggalkan orang tuanya yang dianggap sudah tua dan sakit-sakitan untuk mati di sana.
Orang-orang percaya jika hutan ini dihuni roh-roh yang marah karena telah ditinggalkan keluarganya.
Energi negatif yang terakumulasi selama ratusan tahun inilah yang memberi pengaruh orang untuk melakukan bunuh diri.
Beberapa wisatawan yang berkunjung di hutan ini mengaku merasa frustasi dan depresi ketika melintas.
Lainnya merasa seperti ditarik untuk masuk lebih dalam ke hutan.