TRIBUNTRAVEL.COM - Lontong balap adalah satu makanan dari Indonesia yang populer banget.
Makanan yang satu ini punya banyak penggemar, kamu mungkin satu di antaranya.
Lontong balap adalah sajian lontong berkuah dengan isian tauge, tahu, dan lento (kacang yang dimasak dengan cara khusus).
Bagi yang suka rasa pedas dapat menambahkan sambal petis yang merupakan ciri khas lontong balap.
Masalahnya, kamu tahu nggak asal muasal nama lontong balap?
Ada cerita menariknya lho guys.
“Kalau menurut kakek saya yang sudah jualan lontong balap sejak tahun 1913, jadi dulu itu di Jalan Semarang (Kecamatan Bubutan) banyak yang jualan lontong. Waktu itu belum disebut lontong balap. Nah, mereka semua berjualan di kebun binatang. Tiap pagi mereka keluar naik sepeda untuk menjual lontong, kebut-kebutan. Ada orang yang sebut, 'Itu lontong balapan',” cerita Sisno, pemilik Lontong Balap Cak Pri yang terletak di Jalan Kebalen (Sampoerna), Surabaya.
Sisno yang merupakan generasi ketiga penjual lontong balap Cak Pri, menjelaskan bahan dan cara pembuatan lontong balap.
“Bumbunya itu bawang putih, bawang prei, merica diulek. Sebenarnya kuncinya itu kuah lontong harus pakai minyak jelantah goreng bawang,” ungkap Sisno. “Saya pernah coba tak pakai itu, rasanya beda jadi tak enak.”

Kompas.com/Silvita Agmasari
Warung lontong balap
Proses memasak paling rumit, menurut Sisno adalah membuat lento.
“Lento itu dari kacang yang direndam semalaman, dibersihkan, ditumbuk, dikasih bumbu garam, kencur, daun jeruk, bawang putih, bawang merah, dan ketumbar. Semua ditumbuk, dikepal dengan tangan, baru digoreng,” jelas Sisno.
Rasa lontong balap berbeda dengan lontong pada umumnya.
Jika kamu membayangkan seperti lontong sayur atau lontong cap gomeh, rasanya beda jauh.
Kuah lontong balap bening tak bersantan.
Sehingga rasanya ringan dan tak membuat eneg sama sekali.
Tauge dan lento memberi keunggulan dalam segi tekstur. Rasa lontong balap, jauh lebih nikmat dari penampilannya yang sederhana.
Menemani lontong balap, biasanya selalu ada sate kerang dan es degan. (Kompas.com/Silvita Agmasari)
