Breaking News:

Kopi Galing Gunung Slamet - Ada Rasa dan Aroma Khas, Apa Hubungannya dengan Sepeda ?

Rasa kopi jadi semakin enak karena direguk di daerah bersuhu dingin, lereng Gunung Slamet.

Editor: Vovo Susatio
theweek.com
Ilustrasi Kopi 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Mamdukh Adi Priyanto

TRIBUNTRAVEL.COM, PEMALANG - Lereng Gunung Slamet tak hanya memiliki keindahan alam yang mempesona.

Daerah lereng Gunung Slamet, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah merupakan asal kopi Galing.

Kopi ini banyak diproduksi di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Pemalang.

Proses pengolahannya, mulai menggiling, menghaluskan, hingga menyangrai kopi dilakukan secara tradisional.

Rasa kopi berjenis arabika dan robusta ini pun tidak kalah dengan kopi dari daerah lain.

Bahkan, saat diseruput, rasa dan aroma kopi Galing sangat kuat.

"Rasanya tidak kalah dengan kopi lain. Bahkan, melebihi kopi bungkusan terkenal yang dijual di toko," kata Triyono (30), warga Slawi, Kabupaten Tegal.


Tribun Jateng/Mamdukh Adi Priyanto
Warga Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Pemalang, Jawa Tengah menjemur kopi Galing di bawah sinar matahari

Triyono sengaja mampir untuk mencicipi kopi tersebut di kedai kopi Galing Desa Gambuhan, Sabtu (27/8/2016).

Selain itu, lanjut Triyono, rasa kopi ini bisa bersaing dengan kopi lain, bahkan dari luar Jawa, semisal dari Sumatera.

2 dari 4 halaman

"Mungkin karena kopi ini diproses secara alami dan tradisional jadi rasanya sangat khas. Saya yakin, kopi ini rasanya sangat enak, apalagi ditambah dengan gula aren," tandasnya.

Rasa kopi jadi semakin enak karena direguk di daerah bersuhu dingin, lereng Gunung Slamet.

"Ditambah makanan khas desa ini, yakni ketela rebus dengan gula putih cair kental. Pasti rasanya mantap," imbuhnya.

Kopi Galing diproduksi banyak warga di Desa Gambuhan dengan cara tradisional.

Saat menggiling kopi, penduduk masih menggunakan alat dari besi yang dirangkai mirip mesin giling.


Tribun Jateng/Mamdukh Adi Priyanto
Warga Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Pemalang, Jawa Tengah menjemur kopi Galing di bawah sinar matahari

Cara penggilingan tidak menggunakan bahan bakar minyak ataupun listrik, melainkan dengan tenaga manusia.

"Untuk menggiling, alat harus di-ontel (dikayuh) seperti sepeda. Ada rantai besi yang menghubungkan kayuhan dengan gilingan," kata petani kopi Galing, Samroh.

Pada saat mengubah biji kopi menjadi bubuk, para petani yang sekaligus produsen kopi, menggunakan alu berbahan batu.

"Untuk menjemur, kami masih menggunakan panas matahari, bukan bantuan alat pemanas. Semuanya dilakukan sendiri oleh kami para petani," jelasnya.

Para petani pun sudah memasarkan hasil produksinya ke sejumlah daerah.

3 dari 4 halaman

Kopi Galing jenis arabika dijual Rp 100 ribu perbungkus.

Sedangkan jenis robusta Rp 80 ribu.

Pasar kopi produksi lereng Gunung Slamet pun semakin menjanjikan.

Warga pun bertambah gairah mengembangkan kebun kopi di wilayah setempat.

"Tahun demi tahun, produksi pertanian kopi di desa ini terus bertambah. Lahan kopi pertama kali dibuka pada 2003 dan saat ini, sudah ada lahan pertanian kopi yang luasnya mencapai 30 hektare," kata Samroh.

Para petani yang sekaligus produsen kopi pun kini sudah memasarkan hasil produksinya ke sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Kota Tegal, Pekalongan dan Jakarta.
"Tiap pekan, biasanya ada yang memesannya dari Jakarta atau luar Jawa. Untuk pemasaran sehari-hari, kami mempunyai toko," jelasnya.

Kepala Desa Gambuhan, Slamet Rahardi mengatakan produksi kopi dari kebun-ke bun di wilayah itu sangat bagus.

Tiap tahun, hasilnya meningkat baik.

"Kualitas produksinya tidak kalah dengan daerah lain, meskipun masih menggunakan cara pengolahan konvensional. Kami pun mendorong masyarakat untuk mengembangkannya," ujarnya.

Slamet Rahardi mengaku sudah mengajukan bantuan ke Pemerintah Kabupaten Pemalang untuk pengembangan kopi tersebut, lantaran pasar kopi Galing sudah bagus.

4 dari 4 halaman

"Kami memberdayakan masyarakat di Gambuhan untuk memproduksi kopi. Dengan alasan mempunyai pasar bagus dan sudah dipasarkan di luar Pemalang bahkan luar Jawa," terangnya.

Hanya saja, kata dia, karena prosesnya yang masih konvensional, produksi hingga menjadi kopi bubuk siap seduh berlansung lambat.

Berbeda saat menggunakan mesin dengan proses cepat.

Itu sebabnya petani terkadang kewalahan memenuhi permintaaan. (*)

Selanjutnya
Sumber: Tribun Jateng
Tags:
Kopi GalingGunung SlametPemalangJawa Tengah
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved