Breaking News:

Ritual Ma'nene Tana Toraja - Horor! Jasad Dibangkitkan dari Peti, Ternyata Begini Prosesinya

Masih memegang teguh adat dan budaya leluhur, Tana Toraja memiliki ritual unik saat prosesi pemakaman.

TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Para kerabat dan keluarga melakukan pembersihan dan mengganti pakaian patung leluhurnya pada ritual adat Ma'nene Tau-tau di Kuburan Goa Londa, Kesu, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (14/8/2015). Ritual Ma'nene dan Ma'nene Tau-tau merupakan tradisi mengganti pakaian para leluhur masyarakat adat Toraja sebagai rasa cinta keluarga yang masih hidup, tak jarang dilakukan lima tahun sekali. 

Laporan Wartawan TribunTravel.com, Sinta Agustina

TRIBUNTRAVEL.COM - Masih memegang teguh adat dan budaya leluhur, Tana Toraja memiliki ritual unik saat prosesi pemakaman.

Bagi masyarakat Toraja, kematian merupakan ritual terpenting yang sangat disakralkan.

Adalah Ma'nene, ritual masyarakat Toraja yang sempat menghebohkan masyarakat.

Ma'nene sebenarnya bukan ritual jasad yang berjalan sendiri seperti mitos yang selama ini santer terdengar.

Dalam ritual ini, keluarga mengganti pakaian jasad yang telah disemayamkan dalam peti mati.

Sebelum membuka pintu kuburan, pemuka adat akan membacakan doa dalam bahasa Toraja kuno.

Ritual ini diawali dengan membersihkan jasad leluhur, kemudian melepas pakaian lama dan diganti dengan pakaian baru.

Prosesi mengganti pakaian jasad membutuhkan waktu sekitar 30 menit.

Setelah mengganti pakaian jasad leluhur, warga berkumpul untuk makan bersama.

2 dari 4 halaman

Waktu pelaksanaan ritual ini biasanya berdasarkan kesepakatan keluarga dan musyawarah warga, tiga atau empat tahun sekali.

Selain itu, ritual ini juga bertujuan untuk mempererat keluargaan dan menjalin keakraban.

Melihat Tengkorak di Kete Kesu, Memaknai Arti Kematian

Tana Toraja, Sulawesi Selatan masih memegang teguh adat dan budaya leluhur.

Adalah Kete Kesu, satu di antara daerah yang masih memegang teguh tradisi.

Kete Kesu merupakan desa wisata di Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakatnya.

Travel writer Fatimah Kartini Bohang akan berbagi cerita saat berkunjung ke Kete Kesu, Kota Rantepao, Toraja Utara.

Ini dia ceritanya.

Dua hari berkunjung ke Tana Toraja cukup membuat saya 'kenyang' melihat tengkorak.

Bukan karena banyaknya jumlah laboratorium biologi di sana, melainkan karena kebudayaan masyarakatnya yang unik dalam memaknai kematian.

3 dari 4 halaman

Bagi masyarakat Toraja, kematian merupakan ritual terpenting dan termahal.

Proses pemakaman orang yang meninggal dapat berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, tergantung kesanggupan keluarga mengumpulkan dana.

Dalam masa itu, jenazah dibungkus kain dan disimpan di Tongkonan (rumah adat Toraja).

Jika dana sudah terkumpul, keluarga segera melaksanakan ritual pemakaman yang memakan waktu selama beberapa hari.

Setelah menjalankan semua ritual, keluarga tidak mengubur jenazah seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Masyarakat Toraja lebih memilih menyimpan jenazah pada batang pohon, batu berukir yang dilubangi, gua-gua, atau tebing.

Satu di antara lokasi penyimpanan jenazah di Toraja yang paling terkenal dan paling tua adalah Kete Kesu.

Saya pun mengunjungi gua tempat penyimpanan jenazah dan terdapat banyak tengkorak dan peti mati di dalamnya.

Konon kabarnya, tengkorak-tengkorak di sana ada yang telah berumur ratusan tahun.

Pada beberapa tengkorak, keluarga sengaja diletakkan atribut-atribut yang mencerminkan kehidupan tengkorak tersebut saat masih hidup.

4 dari 4 halaman

Hal ini bertujuan agar para pengunjung dapat mengetahui kisah hidup tiap tengkorak.

Tengkorak yang mulutnya dipenuhi rokok menandakan, tengkorak tersebut dulunya adalah seorang perokok dan bahkan meninggal karena rokok.

Ada pula tengkorak yang disampingnya diletakkan salib untuk menandakan, dulunya tengkorak itu adalah seorang pemuka agama.

Bagi tengkorak yang dulunya merupakan seorang guru, keluarga meletakkan buku-buku pelajaran di sekitar tengkorak tersebut.

Mengunjungi gua pemakaman di Kete Kesu kembali mengingatkan saya akan kematian.

Bahwa hidup dan mati adalah fase yang pasti dilalui tiap makhluk ciptaan Tuhan.

Manusia hanya punya waktu singkat untuk hidup di bumi dan pada akhirnya akan jadi tengkorak yang berbentuk sama.

Karena raga bisa mati, tapi nama dan karya akan terus hidup.

Cerita lengkapnya bisa kamu simak di sini.

Begini Misteri di Balik Pohon Langsat Yang Hidup Sejak 400 Tahun Lalu

Jika kamu melintasi Desa Pontak Induk, jaga II, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), ada sebuah tempat yang disebut Pusat Sejarah Desa.

Di situ terdapat monumen yang dibangun dengan informasi asal-usul desa yang tertera.

Tak hanya itu kuburan leluhur, satu di antara pendiri desa Pontak juga ada.

Dari berbagai monumen, menariknya ada satu pohon langsat yang berdiri kokoh.

Dilihat dari segi bentuk kayu, dapat disimpulkan bahwa pohon ini sudah lama ditanam.

Bukan hanya sebagai penghias, pohon ini adalah saksi dari terbentuknya desa Pontak.

Umurnya bahkan sama dengan umur Desa Pontak yakni sekitar 4 abad lebih atau 400 tahun lebih.

Bisa dikatakan, pohon ini menjadi saksi bisu kelahiran Desa Pontak.

Hingga sekarang pohon ini terus dilestarikan warga desa, ada pagar yang dibangun mengelilingi pohon serta situs sejarah desa lainnya.

Menurut Andries Sual, mantan Perangkat Desa, Desa Pontak terbentu sekitar tahun 1600-san.

"Desa Pontak terbentuk pada 17 Juli 1635. Pohon ini sudah ada sejak zaman pergolakkan. Sehingga pohon ini terus dilestarikan dan tidak pernah ditebang," kata pria yang berusia 76 tahun ini.

Lanjut Andries, dulunya pernah ada oknum yang mencoba memotong pohon tersebut namun berujung pada kematian.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Maximilian Sondakh, Sekretaris Badan Perwakilan Desa BPD Pontak.

"Karena kisah itu maka hingga sekarang tidak ada yang berani menebang pohon tersebut. Jika mematahkan ranting pohon, orang tersebut bisa menderita sakit," ungkapnya.

Meski begitu pohon langsat ini masih aktif memproduksi buah.

Jika sudah musimnya, ada banyak buah yang tumbuh.

"Rasanya manis. Dalam situasi tertentu, jika ada petunjuk salah satu Tonaas untuk memakan buah Langsat maka bisa mendatangkan manfaat lain misalnya kesembuhan bagi yang sakit," ujarnya.

Lebih jauh dia mengisahkan, pohon tersebut ditanam langsung oleh Tonaas Indo'ong sebagai pendiri desa sekaligus yang mengukuhkan Desa Pontak.


Tribun Manado/Fionalois Watania

Kuburannya pun tak jauh dari lokasi pohon langsat.

Sejak dahulu hingga sekarang, pohon tersebut tak pernah tumbang.

Namun terkadang ranting pohon patah, yang menurut kepercayaan warga sebagai pertanda ada orangtua yang akan meninggal.

Selanjutnya
Sumber:
Tags:
TorajaRitual Ma neneSulawesi Selatan Pokon Deppa Tori Cucuru Bayao Baje Canggoreng Pantai Mattirotasi Pulau Lanjukang
BeritaTerkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved