TRIBUNTRAVEL.COM - Berbicara mengenai tradisi Lebaran, beberapa daerah di Indonesia kerap melakukannya untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Seperti masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Menjelang Lebaran, masyarakat Minangkabau akan melakukan tradisi malamang.
Lalu, apa itu tradisi malamang?
Baca juga: 5 Tips Memasak Rendang Daging Khas Minang Agar Tidak Alot dan Lebih Tahan Lama
Melansir situs resmi Kemdikbud, tradisi malamang merupakan suatu budaya yang diwariskan secara turun temurun dan dan berkembang di lingkungan masyarakat Minangkabau.
Seperti namanya, malamang adalah kegiatan masyarakat Minangkabau di mana dengan bersama-sama membuat ketan yang dimasak menggunakan batang bambu dan dibakar di atas bara api.
LIHAT JUGA:
Secara sekilas, malamang terkesan hanya merupakan proses atau cara memasak lamang (lemang).
Tradisi malamang ternyata tak sekadar membuat lamang secara bergotong-royong, namun ada nilai-nilai dan sejarah yang membuatnya masih bertahan sampai saat ini.
Baca juga: Jadwal Kereta Api Sumatera Barat, Bisa Naik KA Sibinuang atau Minangkabau Ekspress
Sejarah tradisi malamang
Tradisi malang tidak dapat dilepaskan dari peran dan perjuangan Syekh Burhanuddin yang saat itu sedang menyiarkan agama Islam di Sumatera Barat sekira tahun 1646-1704.
Malamang sendiri dapat dikatakan sebagai metode dakwah yang digunakan oleh Syekh Burhanuddin untuk mengajarkan perbedaan makanan halal dan haram dalam ajaran Islam.
Saat itu, Syekh Burhanuddin kerap melakukannya di daerah Ulakan, Padang Pariaman.
Menurut tambo, pada saat menyiarkan Islam, Syekh Burhanuddin kerap bersilaturrahmi ke rumah-rumah penduduk.
Meski saat itu Islam sudah mulai berkembang, namun masyarakat tidak tahu mana makanan yang halal dan mana yang haram.
Syekh Burhanuddin kemudian memperkenalkan cara memasak yang bisa dipastikan tidak akan tercampur antara yang halal dan yang haram.
Masyarakat diminta memasak nasi dalam ruas talang (bambu) yang dilapisi dengan daun pisang pada dinding bambu.
Tujuannya agar beras yang dimasukkan ke dalam batang bambu tidak terkena serbuk yang melekat di dinding bambu.
Seiring berjalannya waktu, beras biasa diganti menjadi beras ketan atau dalam bahasa Minang disebut puluik yang lebih tahan lama.
Cara membuat lamang
Lamang terbuat dari beras ketan putih, namun tak sedikit juga yang membuatnya dari beras ketan merah.
Beras ketan yang akan diolah menjadi lamang haruslah dicuci bersih terlebih dahulu, kemudian direndam selama minimal satu jam.
Baca juga: Rekomendasi 6 Sate Padang Enak di Payakumbuh Sumatera Barat untuk Makan Malam
Saat beras ketan direndam, bambu yang akan dipakai dicuci bersih kemudian diberi alas daun pisang di bagian dalamnya.
Kemudian beras ketan yang sudah dibubuhi garam dan gula dimasukan ke dalam bambu, dilaporkan Wonderful Minangkabau.
Setelah itu ditambahkan santan kelapa, dan dibakar dengan api kecil di atas bara api hingga beras ketas matang sempurna.
Proses pembakaran lamang membutuhkan waktu sekira tiga jam sampai benar-benar matang.
Jadi makanan Lebaran
Karena dimasak menjelang Lebaran, lamang menjadi makanan Lebaran yang sering disajikan masyarakat Minangkabau.
Lamang yang sudah matang biasanya akan dikeluarkan dari batang bambu dengan cara membelah bambu tersebut.
Lamang kemudian dipotong-potong dan siap untuk disantap.
Banyak masyarakat Minangkabau yang menyantap lamang dengan tambahan tapai.
Tapai merupakan makanan hasil fermentasi beras ketan hitam dengan ragi, dilaporkan Kompas.com.
Sajian lamang khas Sumatera Barat ini disebut lamang tapai.
Dalam penyajiannya, lamang tapai berupa lamang dan tapai yang diberi air gula aren.
Tidak hanya dengan tapai, lamang juga bisa disajikan dengan makanan pendamping lainnya yang bercita rasa manis.
Seperti cairan gula merah (kinca), durian, dan sarikaya.
Baca juga: 5 Sarapan Enak di Bukittinggi Sumatera Barat, Sajikan Rendang hingga Bubur Kampiun
Baca juga: Wajib Coba 4 Kuliner Malam di Payakumbuh saat Liburan ke Sumatera Barat
Tak cuma saat Lebaran
Tradisi malamang sebenarnya tak cuma dilakukan untuk menyambut Lebaran.
Malamang juga sering dilakukan untuk menyambut hari-hari besar Islam, seperti menjelang bulan Ramadhan, Idul Adha, peringatan Maulid Nabi, dan sebagainya.
Tradisi malamang juga selalu dilakukan saat ada acara adat seperti baralek (pesta pernikahan), peringatan hari kematian, dan lain-lain.
Di luar hari besar Islam dan acara adat, lamang dapat ditemukan di sejumlah penjual dengan harga yang cukup variatif.
Lamang biasa dijajakan per batang bambu yang telah dimasak sampai matang.
(TribunTravel.com/SA)
Baca tanpa iklan