Jika sudah terperangkap di medan microburst, pesawat sebesar apa pun bisa terbanting sampai jatuh.
Kecelakaan yang dialami pesawat Lockheed L-1011 Tristar milik maskapai Delta Airlines pada 2 Agustus 1985 di Bandara Internasional Dallas-Fort Worth, Texas, Amerika Serikat, bisa menjadi contoh betapa mengerikannya fenomena microburst.
Michael (36), pilot suatu maskapai di Singapura, berkisah tentang pengalamannya menghadapi cuaca buruk saat terbang.
“Saat itu tahun 2015, saya terbang di atas Laut Andaman di utara Aceh. Malam hari. Radar cuaca di kokpit menunjukkan warna merah yang luas dan hanya sedikit warna hijaunya. Kapten meminta izin kepada ATC untuk berputar.”
Warna merah menandakan zona yang harus dihindari, sedangkan hijau menunjukkan area yang aman dilewati.
Setiap detik, lanjut Michael, pesawat semakin mendekati daerah merah itu.
Secara kasatmata, kilatan-kilatan petir menerangi gelapnya malam.
“Kami pun mulai terguncang. Beruntung ATC merespons cepat, kami terbang berputar di tepian badai. Guncangannya cukup lumayan. Tapi selama mengikuti prosedur dan aturan, niscaya penerbangan akan aman,” imbuhnya.
Awan Cb, kata Michael, tidak boleh diterabas.
Gumpalan awan ini bisa menjulang cukup tinggi di angkasa.
Isinya petir dan es.
Dalam jumlah tertentu, es yang terisap mesin pesawat bisa menyebabkan kegagalan mesin.
Selain itu, kaca kokpit bisa retak jika terkena hantaman butiran-butiran es.
“Kalau bicara sambaran petir, sebenarnya sangat jarang kasus itu terjadi pada pesawat yang sedang mengudara."
"Apalagi bodi pesawat telah didesain sedemikian rupa agar tahan terhadap sengatan petir dan sistem kelistrikan pesawat tidak terganggu."
"Kalaupun tersambar petir, pilot akan memilih untuk segera mendaratkan pesawat sebagai langkah antisipasi meski kondisi pesawat bisa jadi baik-baik saja,” ujar Michael.
Baca tanpa iklan