Akses berita terupdate se-indonesia lewat aplikasi TRIBUNnews

Warga Jepang yang Dijanjikan 'Surga' jika Tinggal di Korea Utara, Menuntut Karena Merasa Dibohongi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang-orang yang pindah ke Korea Utara setelah dijanjikan kehidupan yang lebih baik

TRIBUNTRAVEL.COM - Lebih dari 93 ribu orang yang sebagian besar warga etnis Korea, melepas kewarganegaraan Jepang-nya setelah Perang Dunia II meninggalkan Jepang antara 1959 dan 1984.

Mereka terpikat janji manis kehidupan baru yang lebih baik di Republik Rakyat Demokratik Korea selama Perang Dingin.

Orang etnis Korea di Jepang dikenal sebagai Zainichi, bergabung dengan ribuan pasangan dan anak-anak Jepang lainnya menuju Korea Utara.

Mereka dijanjikan surga jika mereka bersedia tinggal dan menjadi warga Korea Utara.

4 Hal Tak Biasa yang Ada di Korea Utara, Seorang Sutradara Diculik dan Dipaksa Buat Film Godzilla

Alih-alih surga, mereka mengatakan justru mengalami diskriminasi, kemiskinan, dan tidak diberi kebebasan.

Satu di antara warga Jepang yang terlena dengan janji surga Korea Utara adalah Hiroko Sakakibara.

Pada waktu agen Korea Utara mendatangi rumah ayahnya, usia Sakakibara masih sangat kecil.

Agen itu mengatakan akan menjamin kehidupannya kelak di negara Semenanjung Korea, termasuk berbagai keperluan mulai dari pekerjaan, rumah, pakaian, dan kesehatan.

"Aku masih sangat kecil, jadi tidak bisa bergabung dalam obrolan mereka, tapi aku mendengar apa yang mereka bicarakan," kata Sakakibara, dilansir dari straitstimes.com, Selasa (2/10/2018).

"Ayahku bilang, ayo, ayo," katanya.

Sakakibara ingat betul, ayahnya berjuang mencari pekerjaan dan ibunya menderita stroke.

Sakakibara yang saat ini berusia 68 tahun pun masih ingat saat dipermalukan di sekolah karena tidak memiliki uang untuk makan siang.

Jurnalis Inggris Kunjungi Bangunan Tertinggi di Korea Utara, Diberi Tanda Pers di Lengannya

Kedua orangtuanya yang merupakan etnis Korea menghalami kesulitan hidup selama tinggal di Korea Utara setelah tiba di sana pada 1961.

Ia dan keluarganya menumpang kapal Soviet menuju pelabuhan Chongjin, Korea Utara.

Ia ingat dengan jelas, foto-foto propaganda yang ditunjukkan agen kepada keluarganya sebelum meninggalkan Jepang.

Pada foto terlihat gadis-gadis cantik memetik apel kemerahan dari pohon, pemandangan desa yang indah, dan pemandangan kota yang modern.

Namun begitu naik ke kapal, mereka diawasi oleh tentara Soviet, dan keraguan mulai muncul.

"Makanannya mengerikan, dan apel-apel merah itu, semua tampak begitu layu," katanya.

Kemudian, ketika kapal mendekati pelabuhan, mereka menyadari bahwa telah membuat kesalahan besar.

Sakakibara dan keluarganya disapa dengan kota 'abu-'abu', miskin, dan di dermaga penuh orang-orang kekurangan gizi dan lusuh.

Warga Korea Utara Gemari Produk Indonesia, Segini Harga Sampo hingga Deterjen di Sana

Semua orang dewasa mengenakan pakaian abu-abu gelap dengan model dan warna yang sama.

Beberapa anak-anak kecil terlihat tak memakai alas kaki bahkan tanpa celana.

Sakakibara yang pada saat itu berusia 11 tahun menyesal karena pemandangan yang ia lihat berbeda dengan apa yang ia bayangkan sebagai 'surga'.

Disekelilingnya, orang-orang merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan.

"Kami diberitahu bahwa ini adalah surga, tapi ternyata bukan," kata Hiroko Saito, seorang wanita Jepang yang datang bersama suaminya yang merupakan etnis Korea dan anaknya yang masih berusia satu tahun.

Semua orang menangis dan bertanya-tanya, "bisakah saya pergi dari sini dan kembali ke rumah?"

Janji hidup bebas, mendapat pekerjaan dan hidup layak itu semua bohong.

Banyak dari mereka berakhir di kamp penjara dan keluarganya dalam tuntutan hukum yang kejam.

Korea Utara Tiba-tiba Larang Wisatawan Berkunjung ke Negaranya Hingga September, Apa Sebabnya?

Ada juga yang meninggal karena kekurangan gizi dan penyakit.

Ayah Sakikibara dulunya adalah pekerja konstruksi di Jepang.

Sementara di Korea Utara ia dijadikan pekerja di pedesaan dan disuruh belajar pertanian secara manual.

Karena tidak bisa memenuhi target, ayahnya mengalami gangguan mental dan dikurung di rumah sakit jiwa hingga meninggal pada 1964.

Saat ini, ada lima Zainichi yang sudah puluhan tahun di Korea Utara berhasil melarikan diri ke Jepang.

Mereka menuntut pemerintah Korea Utara di pengadilan Jepang atas kebohongan, penderitaan dan penganiayaan yang dialami.

Mereka juga menuntut agar keluarganya diberi hak untuk kembali ke Jepang.

TribunTravel.com/rizkytyas