TRIBUNTRAVEL.COM - Dian Marsino (29) duduk termenung di sebuah sisi jalur pendakian Gunung Ijen, Jawa Timur pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIB.
Tangannya mencoba menyulut sebatang rokok untuk menemani udara malam yang cukup "menusuk" tulang.
Di sekitarnya, ada tiga rekannya yang juga duduk sambil menutup tubuhnya dengan sarung.
"Ojek, Mas. Ojeknya, Mas," kata Marsino kepada para pendaki yang melewatinya.
Berulang kali ia menawarkan jasa ojek kepada para pendaki Gunung Ijen.
Selain kata "ojek", ia juga tak jarang juga menyebutkan kata "taksi".
"Yoo taksi-taksinya, Mas," begitu ia ucapkan.
Kemudian, pendaki-pendaki Gunung Ijen meninggalkan tempat Marsino duduk.
Ia kembali bergelut dengan dinginnya malam untuk mencari sesuap nasi dari jasa "ojek" atau "taksi" di Gunung Ijen.
Bila tak ada pendaki yang lewat, suara angin yang menerpa daun pohon cemara akan jelas terdengar.
"Saya jam 12 malam sudah sampai di jalur pendakian. Setiap hari saya bekerja nawarkan ojek," kata Marsino beberapa waktu lalu di tengah jalur pendakian Gunung Ijen.
Marsino adalah salah satu pengojek atau "sopir taksi" di Gunung Ijen sejak tahun 2015.
Berbekal jaket, sepatu boot, dan celana olahraga panjang mereka menerjang malam demi sesuap nasi.
Pekerjaan ini ia geluti sebagai sampingan ketika tak mengantarkan batu belerang.
"Dapat pelanggannya ya gak tentu, Mas," ujarnya.
Dari pekerjaannya, terkadang ia bisa mengantarkan pendaki dengan kendaraan khusus berbentuk gerobak sebanyak 20 kali dalam satu bulan.
Namun, hasilnya tak ia nikmati sendiri.
"Kalau naik itu ditarik tiga orang. Dua orang narik dari depan, dan satu dorong. Itu uangnya dibagi tiga," jelasnya.
Harga jasa "taksi" di Gunung Ijen ia akui belum ada standar bersama.
Harga naik dan turun ditawarkan mulai Rp 600.000 - Rp 800.000.
Persaingan antar "sopir taksi" Gunung Ijen terbilang ketat.
Sejak mulai mendaki Gunung Ijen, suara-suara tawaran "ojek" atau "taksi" sudah menggema.
"Di Gunung Ijen ini ada lebih dari 100 orang yang kerja seperti saya. Semuanya orang Banyuwangi. Sejak tahun 2015 sudah ada ini jasa ojek atau taksinya," ungkap Marsino.
Mereka saling menawarkan dengan harga yang bersaing.
Ada yang bisa berbeda hingga Rp 200.000 lebih murah meskipun jarak yang ditempuh lebih jauh.
"Kerjaan pokok saya ya bawa tamu ini. Kalau gak dapat tamu, ya menambang belerang. Saya narik ini sekitar 2 jam kalau bawa orang. Musim hujan pun juga narik," papar Marsino.
Tamu-tamu yang pernah naik jasa "taksi" di Gunung Ijen bervariasi.
Menurut Marsino, ada turis-turis yang dari Indonesia, Jerman, Thailand, dan negara-negara lain.
"Yang naik umurnya gak tentu. Umur 20 tahun kalau lelah juga naik. Pernah juga dapat yang gemuk," jelasnya.
Namun, ia tetap bersemangat dan tak pilih-pilih pengguna jasa.
Marsino dan rekan-rekan lainnya tetap setia menunggu pengguna jasa "taksi" hingga siang hari pukul 12.00 WIB.
Menjelang pagi hari, ia dan rekan-rekannya sudah menunggu di tepi bibir kawah Gunung Ijen.
Biasanya, wisatawan-wisatawan yang sudah kelelahan lantaran mendaki akan mengambil jasa "taksi" Gunung Ijen.
Mereka akan terus menawarkan jasa untuk mengantar wisatawan.
Bahkan, tak jarang mereka menurunkan harga demi mendapatkan penyewa jasanya.
Berita ini telah dimuat di Kompos.com dengan judul Kisah Sopir Taksi di Jalur Pendakian Gunung Ijen