TRIBUNTRAVEL.COM - Kabupaten Lebak di Provinsi Banten menyimpan banyak kisah sejarah yang erat kaitannya dengan kolonialisme Belanda.
Satu saksi bisu perjalanan sejarah itu kini diabadikan dalam Museum Multatuli yang terletak di Jalan Alun-alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten.
Baca juga: Cara Naik MRT Jakarta dari Bundaran HI ke Lebak Bulus: Rute, Tarif, dan Tips Lengkap untuk Pemula
Baca juga: Panduan Rute Menuju Negeri di Atas Awan Citorek, Lebak, Banten, Lengkap Harga Tiket Masuknya
Museum Multatuli menempati bangunan bekas kantor Wedana Lebak yang dibangun pada tahun 1923.
Gedung bergaya klasik kolonial itu kemudian dipugar dan pada 11 Februari 2018 resmi diresmikan sebagai Museum Multatuli oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya.
Baca juga: Jajal Keseruan Mengunjungi Wisata Alam Ranggawulung di Curugbitung, Lebak, Banten
Baca juga: Harga Tiket Masuk Negeri di Atas Awan Citorek, Desa Citorek, Cibeber, Lebak, Banten
Dari Kantor Wedana Jadi Museum
Sebelum menjadi museum, bangunan ini sempat berfungsi sebagai kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Lebak.
Setelah dilakukan pemugaran, gedung dengan halaman yang asri ini berubah wajah menjadi pusat edukasi sejarah kolonialisme dan tokoh besar Eduard Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli.
Di halaman museum, terdapat pendopo yang kerap digunakan anak-anak muda untuk kegiatan seni, diskusi, hingga pendidikan.
Pepohonan rindang membuat suasana sejuk, memberi nuansa berbeda dibanding museum lain di Banten.
Tujuh Ruang Pamer Modern
Museum Multatuli memiliki tujuh ruang pamer dengan tata interior modern.
Informasi sejarah disajikan dengan memanfaatkan teknologi audio-visual, podcast, hingga multimedia interaktif.
Ruang pertama menyambut pengunjung dengan kalimat besar: “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.”
Dindingnya dihiasi mozaik wajah Multatuli dan patung wajahnya.
Ruang kedua mengisahkan awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara.
Ruang ketiga menggambarkan situasi tanam paksa (cultuurstelsel) melalui sketsa di dinding ruangan.
Ruang keempat berisi kisah Multatuli saat menjabat sebagai Asisten Residen Lebak.
Di sini dipamerkan buku asli Max Havelaar yang didatangkan langsung dari Belanda.
Ruang kelima menceritakan perlawanan rakyat Banten terhadap penjajahan.
Ruang keenam menampilkan perkembangan Kabupaten Lebak dari masa ke masa, termasuk kisah orang Lebak yang dibawa ke Suriname sebagai buruh tebu.
Ruang ketujuh berfungsi sebagai ruang pamer temporer, biasanya diisi pameran tematik yang berganti sesuai agenda.
Baca juga: Jalur TransJakarta Koridor 13 Lebak Bulus-Tendean Rusak, DPRD Jakarta Minta Perbaikan Aspal
Koleksi Bersejarah
Beberapa koleksi penting bisa ditemukan di Museum Multatuli, antara lain ubin rumah dinas asisten residen Lebak yang pernah ditempati Eduard Douwes Dekker.
Ubin ini sempat dibawa ke Belanda pada 1987 oleh seorang wartawan, kemudian dikembalikan ke Lebak pada 2016.
Selain itu, museum juga menyimpan koin kuno tahun 1857, alat giling kopi, hingga patung Multatuli bersama tokoh fiksi Saidjah dan Adinda yang diciptakan oleh pematung Dolorosa Sinaga.
Koleksi multimedia turut memperkaya pengalaman pengunjung.
Ada video wawancara dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang membahas Multatuli, serta rekaman suara penyair WS Rendra membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”.
Multatuli dan Max Havelaar
Eduard Douwes Dekker lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820.
Ia bertugas sebagai Asisten Residen Lebak mulai Januari hingga April 1856.
Saat bertugas, hatinya terusik menyaksikan penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa.
Multatuli kecewa dengan penindasan yang dilakukan pejabat kolonial maupun penguasa lokal.
Akhirnya ia memilih mundur dari jabatannya, lalu menuangkan kegelisahannya dalam karya monumental berjudul Max Havelaar yang terbit tahun 1860.
Buku ini membuka mata dunia tentang praktik kolonialisme di Hindia Belanda.
Karya tersebut diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa dan bahkan difilmkan.
Tajamnya kritik Multatuli turut mendorong Belanda menerapkan Politik Etis, yaitu kebijakan yang mengutamakan pendidikan bagi kaum pribumi.
Multatuli wafat di Jerman pada 19 Februari 1887, namun gagasannya tetap hidup.
Kini jejak perjuangan literasinya bisa dipelajari di Museum Multatuli, Kabupaten Lebak.
Harga Tiket dan Jam Buka Museum Multatuli
Museum Multatuli dibuka untuk umum dengan harga tiket yang sangat terjangkau:
- Dewasa: Rp 2.000
- Anak-anak/Pelajar: Rp 2.000
Jam operasional:
- Selasa – Jumat: 08.00 – 16.00 WIB
- Sabtu – Minggu: 09.00 – 15.00 WIB
Senin dan hari libur nasional: tutup.
Lokasi Strategis di Jantung Rangkasbitung
Museum Multatuli berada tepat di depan Alun-alun Rangkasbitung, berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah Adinda.
Lokasinya sangat strategis dan mudah diakses menggunakan transportasi umum, termasuk kereta commuter line tujuan Rangkasbitung.
Dengan luas area sekitar 1.934 meter persegi, Museum Multatuli tidak hanya menyimpan sejarah kolonialisme, tetapi juga menjadi ruang publik yang edukatif, artistik, dan ramah bagi semua kalangan.
Wisata Edukasi di Kabupaten Lebak
Mengunjungi Museum Multatuli bukan sekadar jalan-jalan biasa.
Pengunjung akan diajak memahami jejak sejarah kolonial, mengenal tokoh Multatuli, hingga belajar tentang perjuangan rakyat Banten.
Bagi wisatawan, destinasi ini bisa menjadi pilihan menarik selain wisata alam di Banten, seperti Pantai Sawarna atau Baduy.
Museum Multatuli menghadirkan pengalaman berbeda: sebuah perjalanan menelusuri sejarah lewat literasi dan karya sastra.
TribunTravel
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.