TRIBUNTRAVEL.COM - Museum Sejarah Jakarta atau Gedung Fatahillah bukan sekadar bangunan tua di kawasan Kota Tua Jakarta.
Di balik tembok putihnya yang kokoh, tersimpan kisah kelam dan memilukan dari masa kolonial Belanda.
Baca juga: Libur Sekolah ke Jogja, Tiket Pesawat Murah dari Jakarta Mulai Rp 680 Ribu Tanpa Transit

Baca juga: Itinerary 1 Day Trip Lembang, Start dari Jakarta Budget Rp 800 Ribuan Termasuk BBM & Tol
Satu bagian paling mencengangkan dari Museum Sejarah Jakarta adalah penjara bawah tanahnya yang masih utuh hingga hari ini.
Berada di lantai dasar Gedung Gouverneurskantoor, penjara bawah tanah ini terdiri dari enam ruangan: lima untuk tahanan laki-laki dan satu untuk tahanan perempuan.
Baca juga: Oakwood Premier Cozmo Jakarta Hadirkan Kembali Pengalaman Eksklusif Coffee & Speakeasy di The Oakbar
Baca juga: Itinerary Bandung 2 Hari 1 Malam dari Jakarta, Solo Traveling di Bawah Rp 715 Ribu
Penjara-penjara ini dibangun pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sekitar tahun 1620 dan diresmikan oleh Abraham Van Riebeeck pada 1710.
Saat Warta Kota mengunjungi lokasi, Minggu (1/6/2025), nuansa menyeramkan langsung terasa sejak memasuki salah satu ruangan penjara.
Aroma lembap dan hawa pengap menyambut begitu pintu kayu setengah oval dibuka.
Lorong sempit dengan tinggi hanya sekira 160 cm itu lebih menyerupai gua gelap dari masa lalu.
Masing-masing penjara laki-laki berukuran sekitar 6 meter panjang dan 3 meter lebar.
Ventilasi hanya ada di dekat pintu, berupa jeruji besi kecil yang nyaris tak memberi sirkulasi udara yang layak.
Di sinilah para tahanan melakukan semua aktivitas: makan, minum, mandi, hingga tidur.
Yang mencengangkan, satu ruangan penjara bisa diisi hingga 50 tahanan.
“Tahanan laki-laki diberi pemberat di kedua kaki berupa bola besi, supaya tak bisa kabur,” jelas Pramesti Ayutika, pemandu wisata Museum Sejarah Jakarta.
Baca juga: Tiket Pesawat Murah Jakarta-Padang untuk Libur Sekolah, Mulai Rp 1 Jutaan Sekali Jalan
Bola-bola besi itu, berjumlah sekitar 100 buah, kini masih tersimpan di dalam ruangan, menjadi saksi bisu kekejaman masa lalu.
Sementara itu, penjara perempuan hanya menampung 20 hingga 35 orang.
Ruangannya lebih terang karena memiliki ventilasi ke arah luar gedung, tepat menghadap Taman Fatahillah.
Namun, kondisinya lebih menyedihkan karena mudah tergenang air ketika hujan turun, membuat para tahanan hidup dalam lingkungan lembap dan tak layak.
Salah satu tokoh nasional yang pernah ditahan di penjara bawah tanah ini adalah Cut Nyak Dhien.
Pejuang asal Aceh ini sempat mendekam di sel perempuan sebelum akhirnya diasingkan ke Sumedang pada tahun 1906.
“Tahanan dibedakan antara kriminal dan politik. Kalau Cut Nyak Dhien termasuk tahanan politik,” ujar Pramesti.
Selain Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro juga pernah ditahan di Gedung Fatahillah, namun ia mendapatkan kamar khusus di atas penjara wanita.
Setelahnya, ia diasingkan ke Makassar pada tahun 1833.
Kondisi penjara begitu buruk hingga mayoritas tahanan tak bertahan lama.
“Rata-rata tahanan hanya hidup tiga sampai tujuh hari sebelum dieksekusi. Sekitar 83 persen meninggal duluan karena kondisi buruk dan penyakit,” lanjut Pramesti.
Eksekusi biasanya dilakukan dengan cara dipancung atau dipenggal, tergantung keputusan Dewan Kotapraja dan Gubernur Jenderal yang berkantor tidak jauh dari lokasi penjara.
Penjara ini akhirnya ditutup pada tahun 1846, dan eksekusi terakhir tercatat pada tahun 1896.
Tahanan yang masih hidup kemudian dipindahkan ke penjara di wilayah Harmoni dan Gedung Pengadilan yang kini menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.
Kini, penjara bawah tanah tersebut menjadi bagian penting dari perjalanan edukatif di Museum Sejarah Jakarta.
Tanpa perubahan berarti selain pengecatan ulang, ruangan-ruangan ini dipertahankan dalam bentuk aslinya.
Pengunjung bisa merasakan sendiri kegelapan sejarah dan penderitaan mereka yang pernah terperangkap di sana.
Gedung Museum Sejarah Jakarta berlokasi di c No.1, Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Lokasi ini sangat mudah dijangkau dengan transportasi umum, terutama TransJakarta dan KRL Commuter Line yang berhenti di Stasiun Jakarta Kota.
Jam Operasional Museum Sejarah Jakarta
Museum ini buka setiap Selasa hingga Minggu, pukul 09.00 hingga 15.00 WIB.
Hari Senin dan libur nasional tutup.
Harga Tiket Masuk:
Weekday (Selasa–Jumat)
Dewasa: Rp 10.000
Mahasiswa & Anak-anak: Rp 5.000
Turis asing: Rp 50.000
Weekend (Sabtu–Minggu)
Dewasa: Rp 15.000
Mahasiswa & Anak-anak: Rp 5.000
Turis asing: Rp 50.000
Museum Sejarah Jakarta bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga tempat belajar sejarah dan mengenang perjuangan bangsa.
Penjara bawah tanahnya adalah pengingat bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah, melainkan melalui derita dan pengorbanan mereka yang telah lebih dulu melawan ketidakadilan.
(Ambar/TribunTravel) (WartaKota/Nuri Yatul Hikmah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.