TRIBUNTRAVEL.COM - Pernahkah kamu bertanya-tanya pekerjaan apa yang populer tiga ratus tahun yang lalu?
300 tahun yang lalu, dunia kerja terlihat jauh berbeda dibandingkan sekarang.
Baca juga: Gegara Tak Pakai Hijab, Wanita Ini Dipecat dari Pekerjaan dan Mobilnya Disita
Baca juga: Inara Rusli Terbang ke Malaysia Tanpa Anak, Nonton Konser Muse sampai Urus Pekerjaan
Beberapa pekerjaan populer 300 tahun lalu masih ada hingga sekarang.
Dilansir dari thevintagenews, berikut deretan pekerjaan paling populer 300 tahun yang lalu.
Baca juga: Potret Alfi Damayanti Tanpa Masker, Sosok Karyawan Viral yang Tegas Tolak Staycation Demi Pekerjaan
1. Penjahit
Baca juga: 5 Tips Traveling Keliling Dunia di Usia Muda, Termasuk Pertimbangkan Pekerjaan Jarak Jauh
Pada abad ke-18, menjahit muncul sebagai profesi yang populer dan sangat diperlukan baik di Eropa maupun Amerika kolonial.
Produksi pakaian merupakan proses padat karya yang melibatkan berbagai tahapan, mulai dari memanen serat hingga menenun benang menjadi kain dan merakit pakaian akhir.
Di Eropa, menjahit berkembang pesat sebagai perdagangan yang dihormati, dengan calon penjahit menjalani magang yang ketat dengan harapan dapat bergabung dengan serikat pekerja terkemuka.
Alternatifnya, di Amerika kolonial, di mana sebagian besar individu tidak memiliki waktu dan keterampilan untuk membuat pakaian mereka sendiri, permintaan akan penjahit sangat tinggi, terutama di daerah pemukiman yang jauh dari perbatasan.
Jika penjahit Eropa sering mengkhususkan diri pada pakaian dan pelanggan tertentu, penjahit kolonial memperluas pasar mereka, menciptakan pakaian untuk budak dan elit tingkat tertinggi.
2. Percetakan
Baca juga: Jadi Pekerjaan Impian, Ada 6 Hal Tersulit yang Harus Dihadapi Pramugari
Pada abad ke-18, profesi percetakan muncul sebagai pekerjaan yang sangat populer dan berpengaruh baik di Eropa maupun Amerika kolonial.
Meluasnya permintaan akan bahan cetakan, mulai dari surat kabar dan pamflet hingga buku dan dokumen hukum, mendorong pertumbuhan industri percetakan.
Di Eropa, percetakan sering dikaitkan dengan kebangkitan Pencerahan dan peredaran ide-ide filosofis dan ilmiah.
Alternatifnya, di Amerika kolonial, di mana pers memainkan peran penting dalam memupuk semangat kemerdekaan , percetakan adalah tokoh penting dalam penyebaran pemikiran revolusioner.
Menjadi seorang pencetak bukanlah pekerjaan mudah .
Penetapan huruf menyusun masing-masing potongan jenis logam untuk membentuk teks surat kabar, dengan setiap huruf, tanda baca, dan spasi dibuat oleh bagian jenis yang terpisah.
Kemudian, tipe tersebut diberi tinta, dan lembaran-lembaran kertas ditempatkan dengan hati-hati pada tipe yang bertinta.
Tekanan yang kuat diterapkan untuk menciptakan cetakan, dan kertas kemudian diangkat secara manual dari jenisnya, dengan lembaran cetakan disisihkan hingga kering.
Keseluruhan proses ini diulangi beberapa kali untuk membuat banyak salinan dari bahan cetakan yang sama.
3. Pemilik kedai kopi
Pada abad ke-18, menjadi pemilik kedai kopi adalah profesi yang populer baik di Eropa maupun Amerika kolonial.
Kedai kopi menjadi pusat percakapan dan debat sosial, intelektual, dan politik , dengan diskusi berlangsung sambil menikmati secangkir kopi panas.
Namun, kedai kopi tidak menyajikan jenis kopi seperti yang biasa kita nikmati saat ini.
Alih-alih mengutamakan rasa, kopi di masa lalu dikonsumsi karena efek fisiknya, sehingga menghasilkan minuman yang agak pahit.
Penting untuk dicatat bahwa baik di Eropa maupun di Amerika kolonial, kedai kopi sebagian besar merupakan tempat usaha yang berpusat pada laki-laki, karena perempuan sering kali dilarang masuk.
4. Pemilik rumah bir
Wanita abad ke - 18 menemukan jalan unik untuk menghasilkan pendapatan dengan bekerja sebagai buruh rumah tangga , membuat bir, dan menjual bir dari rumah mereka.
Pekerjaan ini menawarkan perempuan kesempatan untuk memanfaatkan keterampilan rumah tangga mereka dan juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga mereka.
Penduduk Awiwi sering kali membuat bir sebagai makanan pokok rumah tangga, dan kelebihan produksinya akan dijual kepada masyarakat lokal untuk menghasilkan keuntungan.
Namun, seiring berjalannya waktu, citra istri pembuat bir mengalami transformasi, dan profesi tersebut secara bertahap mengembangkan reputasi negatif.
Ketika industri pembuatan bir menjadi profesional dan pabrik-pabrik besar menjadi terkenal, para alewi menjadi terstigmatisasi.
Mereka mulai dianggap tidak bermoral dan kotor, dan dalam beberapa kasus, para wanita ini bahkan dicap sebagai penyihir.
Seiring waktu, beberapa undang-undang ketat diberlakukan untuk mendorong perempuan keluar dari bisnis ini, yang pada akhirnya menjadikannya profesi yang didominasi laki-laki.
5. Pembuat wig
Wig bubuk sangat populer di Eropa pada abad ke-18, sehingga pembuat wig memperoleh keuntungan dari booming bisnis.
Rambut palsu bukan sekadar aksesori modis namun juga melambangkan status sosial, kekayaan, dan gaya selama periode ini, dan dengan demikian, permintaan akan rambut palsu melonjak di kalangan bangsawan dan kelas atas.
Dengan pelanggan seperti ini, pembuat wig dapat mencapai kesuksesan besar baik secara finansial maupun reputasi.
Di Amerika kolonial, wig bubuk juga sempat populer, tetapi pembuat wig lebih sedikit jumlahnya.
Banyak orang mendapatkan penampilan ini dengan membedaki rambut mereka sendiri daripada membeli wig.
Namun, seiring berjalannya waktu, popularitas wig bubuk menurun baik di Eropa maupun Amerika kolonial.
Ini menjadi simbol ketidakadilan kelas dan tidak pernah benar-benar muncul kembali dalam gaya arus utama.
6. Apoteker
Pada abad ke-18, pekerjaan apoteker menjadi profesi yang populer, baik di Eropa maupun Amerika kolonial.
Apoteker memainkan peran penting sebagai praktisi medis, ahli herbal, dan penyedia pengobatan pada saat pemahaman tentang perawatan kesehatan berakar kuat pada pengetahuan herbal dan botani.
Orang-orang terampil ini mengoperasikan toko apotek, di mana mereka tidak hanya membagikan obat-obatan tetapi juga meramu berbagai pengobatan, tincture, dan ramuan.
Keahlian mereka menjadikan mereka sumber panduan medis yang sangat berharga di masyarakat dimana akses terhadap praktisi medis formal terbatas.
Di komunitas yang lebih terisolasi, dokter akan merangkap sebagai apoteker, membagikan obat-obatan mereka sendiri daripada membatasi obat-obatan tersebut hanya di etalase yang ditunjuk.
Ambar/TribunTravel
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.