TRIBUNTRAVEL.COM - Pernah mendengar istilah tentang Sapeur?
Ya, istilah Sapeur memang masih awam di telinga masyarakat Indonesia.

Sapeur sendiri merupakan orang-orang yang menganut La Sape.
La Sape ialah singkatan dari kalimat Societe des Ambianceurs et des Personnes Elegantes.
Baca juga: Fakta Unik Suku Bajau, Alami Mutasi Genetik hingga Dijuluki Penyelam Andal
Jika diartikan, La Sape berarti sebuah gerakan yang menjunjung keanggunan dalam gaya dan tata krama layaknya pesolek pada zaman kolonial.
Sapeur menjadi subkultur yang sangat terkenal di Kongo, terpusat pada kota-kota Kinshasa dan Brazzaville.
Melansir Pulse.ng, Kamis (16/2/2023), mayoritas anggota Sapeur adalah pegawai pemerintah, tukang kebun, supir taksi atau buruh harian.
Namun sebagai Sapeur, mereka mengenakan pakaian yang sempurna dan berwarna-warni.
Setelah pekerjaan harian rampung, Sapeur berdandan dan berjalan-jalan di komunitas mereka dengan pakaian mencolok.
Meskipun secara historis mayoritas Sapeur diisi oleh laki-laki, saat ini perempuan dan anak-anak juga bergabung dengan kelompok tersebut.
Di komunitas, setiap kali Sapeur lewat, mereka dielu-elukan seperti selebriti.

Baca juga: Dikecam Publik, Rumah Lelang Belgia Membatalkan Penjualan Tengkorak Manusia dari Kongo
Ironinya adalah bahwa orang-orang ini tinggal di daerah yang sangat miskin, di mana mereka bahkan tidak memiliki air ledeng.
Sapeur akan mengorbankan apa saja termasuk makanan untuk menghemat uang.
Tujuannya yakni membeli aksesori desainer dan menghabiskan lebih dari ribuan dolar untuk sebuah jas.
Apa sebenarnya tujuan dari Sapeur dan apa yang mereka lakukan untuk masyarakat?
Nah, hal utama yang mereka lakukan adalah menambah keceriaan dan kemeriahan di masyarakat.
Mereka ternyata memiliki sejarah kolonial yang panjang.
Di tahun 1920-an, banyak pria yang suka berpakaian seperti pria kulit putih.
Pria mengenakan jas dan menggunakan aksesoris seperti tongkat, kacamata berlensa, sarung tangan dan arloji saku dengan rantai.
Mereka membentuk klub dengan minat mereka pada mode, berkumpul untuk minum aperitif dan menari mengikuti musik Kuba dan Eropa yang diputar di fonograf.
Seperti setiap komunitas lainnya, Sapeur menawarkan rasa kebersamaan dan saling memiliki meskipun biaya moneternya sangat tinggi.
Baca juga: Dinobatkan Sebagai Sungai Terdalam di Dunia, Sungai Kongo Ternyata Dihuni Banyak Ikan Aneh
Mengenal San, Suku Tertua di Afrika yang Kini Kelangsungan Hidupnya Terancam
Masih ada orang-orang di dunia ini yang belum terkontaminasi kehidupan modern.
Khususnya di pedesaan Afrika, masih banyak orang-orang yang hidup dengan sangat sederhana.
Bahkan, mereka tidak terpengaruh oleh norma-norma sosial-politik masyarakat yang berubah seiring perkembangan zaman.
Sebut saja suku San, atau yang juga dikenal dengan sebutan Bushmen.
Melansir laman Pulse.ng, suku San diketahui sebagai penduduk asli pertama Afrika Selatan.
Mereka sudah hidup di pulau tersebut lebih dari 30.000 tahun yang lalu.
Suku San diyakini sebagai ras paling kuno di dunia.

Dikenal dengan keterampilan berburu yang mumpuni, suku San sangat mahir menggunakan busur dan anak panah untuk melumpuhkan hewan.
Mereka menerapkan gaya hidup nomaden dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan, air dan hewan buruan.
Menariknya, suku San adalah pencipta asli seni lukisan pada batu dan gua, yang biasa ditemukan dekat dengan tempat tinggal sementaranya.
Mereka menggunakan pewarna dan pigmen dari tumbuhan, mineral, kulit telur, dan darah hewan untuk menggambar serta melukis.
Biasanya ada bentuk pembagian kerja dalam kegiatan sehari-hari mereka.
Baca juga: Viral di Medsos, Gunung di Kongo yang Penuh Emas, Begini Penjelasannya
Penduduk laki-laki pergi berburu, sedangkan perempuan mengumpulkan makanan dan pakan ternak sebagai bahan tanaman untuk sumber konsumsi utama.
Sementara penduduk yang masih anak-anak, tidak memiliki tugas apapun selain bermain.
Sebagai hasil dari keterampilan berburu mereka yang unik dan tajam, penduduk suku San menjadi sangat baik dalam hal pelacakan.
Intuisi mereka tajam, tepat, dan akurat.
Saat ini, suku San masih ditemukan di Afrika Selatan, Botswana, Zambia, Lesotho, Zimbabwe, Angola, dan Namibia.
Biasanya ada empat kriteria yang digunakan dalam mengidentifikasi dan membedakan mereka dari keturunan Afrika lainnya.
Mereka biasanya memiliki sejarah mengumpulkan makanan dan berburu, bahasa dapat membantu mengidentifikasi mereka, identifikasi oleh diri sendiri dan fitur karakteristik yang berbeda.
Pada zaman sekarang ini, beberapa penduduk suku San telah bersembunyi karena eksploitasi berlebihan dari pemerintah dan orang asing terhadap budaya dan cara hidup mereka.
Sementara penduduk suku San lain juga sama-sama terlantar karena tingginya permintaan untuk konservasi satwa liar, sehingga kehilangan rumah asli mereka.
Semua faktor tersebut pada akhirnya diduga akan menghancurkan cara hidup mereka yang unik.
Baca juga: Fakta Unik Asaro, Suku yang Menakuti Lawan dengan Topeng Menyeramkan
(TribunTravel.com/mym)
Untuk membaca artikel terkait berita viral, kunjungi laman ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.