TRIBUNTRAVEL.COM - Masyarakat Indonesia baru-baru ini dibuat heboh dengan lagu dangdut berjudul 'Joko Tingkir Ngombe Dawet'.
Lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet belakangan menjadi sorotan sejumlah tokoh publik karena dianggap tidak sopan.
Bukan lantaran liriknya yang tidak seronok, melainkan nama Joko Tingkir sendiri rupanya bukanlah orang sembarangan.
Usut-diusut, Joko Tingkir merupakan sosok tokoh publik yang sangat dihormati oleh orang Jawa pada masanya.
Baca juga: Viral Mahalnya Tiket Masuk & Parkir Gunung Kemukus Sragen, Camat Ungkap Fakta Sebenarnya
Hal inilah yang menjadi alasan lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet menuai banyak protes.
Lalu siapa sebenarnya sosok Joko Tingkir itu sendiri? Yuk, simak informasi selengkapnya berikut ini.
TONTON JUGA:
Mengenal Joko Tingkir
Joko Tingkir atau Jaka Tingkir sebenarnya bukanlah nama asli namun merupakan sebuah gelar.
Dikutip dari TribunSolo, Joko Tingkir sendiri adalah nama lain dari Sultan Pajang Hadiwijaya ssat masih remaja.
Konon dilahirkan di Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Tak sembarangan, Joko Tingkir rupanya merupakan putra dari Kyai Ageng Kebo Kenongo atau dikenal juga dengan Ki Ageng Pengging.
Sementara itu Kyai Ageng Kebo Kenongo merupakan putra dari pernikahan antara Retna Pembayun dengan Sri Makurung Handayaningrat.
Diceritakan, pegiat Sejarah, R Surojo, Joko Tingkir dilahirkan dengan nama kecil Mas Karebet.
Saat akan menginjak dewasa, karena sang ayah sudah meninggal, Mas Karebet lalu diasuh oleh Ki Ageng Tingkir,
Diketahui Ki Ageng Teingkir merupakan sosok teman seperguruan Kebo Kenongo.
“Jadi nama Joko Tingkir itu diambil dari nama gurunya, Ki Ageng Tingkir,” ujarnya yang dikutip TribunTravel, Rabu (24/8/2022).
Setelah menginjak dewasa, Joko Tingkir lantas dibawa ke Kerajaan Demak untuk dijadikan prajurit Kraton, pada masa Sultan Trenggono.
Selama menjalani masa sebagai prajurit, Joko Tingkir dikenal memiliki banyak prestasi.
Atas pencapaian tersebut Joko Tingkir akhirnya diangkat menjadi Tamtomo.
Sayangnya gelar Tamtomo yang diperoleh Joko Tingkir tersebut tak sepenuhnya diterima oleh pejabat keraton.
Sehingga tanpa diduga Joko Tingkir akhirnya mendapat fitnah dari beberapa pihak.
Atas inisiatif guru-gurunya, Joko Tingkir kemudian mendapat kepercayaan dari Sultan Trenggono untuk menghalau pemberontakan dari laskar banyu biru.
Berhasil menumpas pemberontakan itu, Joko Tingkir mendapatkan hadiah istimewa.
Joko Tingkir lalu dijadikan menantunya dengan dinikahkan dengan Nimas Kambang atau Ratu Cempaka dan diberikan jabatan sebagai Adipati Pajang.
Tak lama kemudian, Sultan Trenggono gugur di Pasuruan.
Perebutan penerus tahta kerajaanpun terjadi antara Sunan Prowoto dan Arya Penangsang.
Setelah Sunan Prowoto terbunuh, Arya Penangsang secara sepihak menobatkan diri menjadi raja Demak yang selanjutnya.
Atas kejadian ini, Arya Penangsang mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak termasuk para Wali.
Tak tinggal diam, para Wali lantas menyarankan Hadiwijaya selaku Adipati Pajang yang semula hanya sebuah Kabupaten agar dijadikan sebuah kerajaan.
Hal inilah yang menjadikan menjadikan Hadiwijaya sebagai Sultan.
"Sultan Hadiwijaya menurunkan Pangeran Benowo, hingga menurunkan Raden Ayu Tasik Wulan," kata dia.
"Raden Ayu Tasik Wulan diperistri pangeran Mangkubumi, putra Pakubuwono 3, Tasik Wulan mempunyai Putri Gustu Ratu Ayu Hemas yang kemudian diperistri Pakubuwono VI yang kemudian menurunkan Pakubuwono IX sampai XIII sekarang," jelasnya.
Baca juga: Harga Tiket Masuk Gunung Kemukus 2022, Tempat Wisata di Sragen untuk Liburan Akhir Pekan
Baca juga: TRIBUNTRAVEL UPDATE: Ndayu Park Sragen, Wisata Edukasi yang Cocok untuk Liburan Bersama Keluarga
Mengenang Joko Tingkir
Sebagai tokoh penting pada masanya, Joko Tingkir hingga saat ini masih dihormati oleh sebagian besar masyarakat.
Untuk mengenangnya, masyarakat mensakralkan area pemakaman Joko Tingkir sebagai salah satu tempat wisata religi.
Dikenal dengan nama Makam Butuh, area makam Joko Tingkir tersebut berada di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Selain Joko Tingkir, dalam kompleks makam tersebut, bersemayam juga ayahanda Joko Tingkir, Ki Ageng Kebo Kenongo atau Ki Ageng Butuh.
Di samping makamnya, terdapat makam sang istri yakni Roro Alit, putri dari Sunan Lawu.
Sunan Lawu sendiri diketahui merupakan sosok dari putra Prabu Brawijaya V.
Kemudian, masih dalam satu tempat, terdapat makam Mas Karebet atau Raden Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.
Di samping makam Raden Joko Tingkir, bersemayam Kanjeng Pangeran Benowo, yang tak lain merupakan putra Raden Joko Tingkir.
Kanjeng Pangeran Benowo juga menjadi pengganti Joko Tingkir sebagai Sultan Pajang Kedua pada periode pemerintahan 1587-1588.
Kompleks Makam Butuh ini lokasinya tak jauh dari bantaran Sungai Bengawan Solo dan berjarak hanya 50 meter.
Sekitar tahun 1930, kopleks Makam Butuh sempat dipugar pada masa pemerintahan Pakubuwana X.
Adanya pemugaran tersebut menjadikan kompleks Makam Butuh memiliki gaya arsitektur yang khas Keraton Solo.
Hal ini dapat dilihat dari adanya tulisan PB X yang disematkan pada pintu masuk area makam.
Kompleks Makam Butuh ini bisa dikunjungi oleh masyarakat umum dan dibuka setiap hari selama 24 jam.
Hingga saat ini area Makam Butuh masih menjadi destinasi wisata religi yang cukup populer di Sragen.
Baca juga: TRAVEL UPDATE: Terbaru, Harga Tiket Masuk dan Jam Operasional Ndayu Park Sragen 2021
Baca juga: Warung Makan Unik di Sragen, Cuma Buka 6 Jam, Makan Sepuasnya Bayar Seikhlasnya
(TribunTravel/Zed)
Baca selengkapnya soal rekomendasi wisata di sini.