TRIBUNTRAVEL.COM - Jika traveler sedang liburan ke Semarang, jangan lupa mampir ke Sam Poo Kong.
Sam Poo Kong merupakan sebuah bangunan klenteng yang populer di Semarang.
Bangunan yang didominasi warna merah dan kuning mampu membius mata wisatawan yang berkunjung.
Memiliki gaya arsitektur khas China dan warna yang menarik mata, membuat Sam Poo Kong ramai dikunjungi, terutama di kalangan anak muda.
Nama Sam Poo Kong atau dalam bahasa Mandarin San Bao Dong memiliki arti gua San Bao.
Itulah mengapa klenteng ini dinamakan Sam Poo Kong.
Ketika kamu memasuki kawasan klenteng, kamu bisa melihat patung Laksamana Cheng Ho yang sangat besar dan berdiri dengan kokoh.
Bangunan utama Sam Poo Kong berupa goa batu yang dipercaya sebagai tempat awal mendarat dan markas Laksamana Cheng Ho beserta anak buahnya ketika mengunjungi Pulau Jawa di tahun 1400-an.
Pada 1700-an, gua asli tertutup longsor dan kemudian dibangun kembali oleh penduduk setempat sebagai penghormatan kepada Laksamana Cheng Ho.
Di dalam bangunan gua, terdapat patung Laksamana Cheng Ho dengan balutan emas dan difungsikan sebagai tempat bersembahyang untuk memohon rezeki, keselamatan dan kesehatan bagi agama Buddha.

Selain gua batu, Sam Poo Kong juga memiliki beberapa bangunan lain di antaranya:
- Tempat Pemujaan Dewa Bumi
Di dalam satu klenteng, selain dewa tuan rumah pasti ada Dewa Bumi.
Umat Buddha biasanya berdoa kepada Tian (Tuhan/langit) lalu kepada Tei (Dewa Bumi).
Dewa Bumi atau Hok Tek Ceng Sin merupakan dewa rezeki dan berkah.
Awalnya umat buddha berdoa kepada Dewa Bumi untuk meminta kesuburan tanah, hasil panen yang berlimpah dan bebas hama.
Tapi tidak menutup kemungkinan, umat buddha juga bisa meminta kesehatan, keselamatan, dagangan laris, hidup damai dan makmur kepada Dewa Bumi.
Dewa Bumi memiliki pengawal berupa macan hitam yang namanya Houw Ciang Kun.
Di depan tempat Dewa Bumi, ada penjaga pintu yang bernama Ue Tek Kiong dan Sie Siok Po Kelahiran Hok Tek Ceng Sin dirayakan setiap tanggal 2 bulan 2 kalender Tionghoa.
Sementara setiap tanggal 15 bulan 8 kalendar Tionghoa dirayakan sebagai hari ucapan terima kasih untuk Hok Tek Ceng Sin.
Umat Buddha akan memberikan kue rembulan sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang berlimpah dan rezeki sepanjang tahun kemarin.
- Makam Kyai Juru Mudi

Nahkoda armada Zheng He yang bernama Ong Keng Hong / Wang Jing Hong saat datang ke Pulau Jawa untuk kedua kalinya mendadak jatuh sakit.
Dikarenakan sakit keras, ia tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus beristirahat di Semarang untuk mendapat pengobatan.
Setelah sembuh, Wang memilih untuk tetap tinggal di Simongan dan bergaul dengan penduduk setempat.
Ia menggarap lahan dan membangun rumah.
Berkat jerih payahnya, lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur.
Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di samping goa Sam Poo Kong.
Makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Kyai Juru Mudi.
Sejak itu penduduk kota Semarang dan sekitarnya sering datang ke sini untuk berziarah atau berdoa meminta berkah.
Khususnya setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.
- Tempat Pemujaan Sam Poo Kong / Sam Poo Tay Djien
Di sinilah tempat utama bagi umat Buddha yang ingin sembahyang pada Sam Poo Kong.
Dinding luar gedung dihiasi oleh relief batu yang menceritakan kisah perjalanan Laksamana Zheng He selama kurang lebih 30 tahun di abad ke-15.
Bebatuan yang digunakan untuk relief ini berasal dari Tiongkok.
Sementara ukirannya dikerjakan oleh seniman Bali.
Di dalamnya barulah ada tempat sembahyang.
Ada dua patung kecil yang menjadi simbol kedatangan Zheng He ke Semarang.
Patung pertama berwajah hitam terbuat dari kayu cendana, melambangkan kedatangan pertama Zheng He pada tahun 1406.
Saat itu ia masih muda, sekitar 30 - 40 tahun.
Patung kedua berwajah merah terbuat dari porselen, melambangkan kedatangan kedua Zheng He pada tahun 1416.
Wajahnya sudah lebih tua.
Di kiri kanannya ada patung tay jiang atau pengawal pribadi Zheng He.
Namanya, Tio Kee dan Lauw Im.
Patungnya terbuat dari kayu cendana juga.
Sementara itu ada satu patung besar Sam Poo Kong di tengah-tengah.
Bahannya terbuat dari emas dan perunggu.
Patung besar ini hanya sekedar simbol.
Namun yang memiliki nilai penting justru kedua patung kecil tersebut.
Di dalam Gedung Batu ini juga ada sumur berisi mata air.
Sumur ini sendiri sebenarnya merupakan peninggalan Oey Tiong Ham.
Air ini dianggap suci dan kerap dimanfaatkan oleh umat maupun pengunjung yang ingin minta rezeki dalam berdagang, bertani, kesembuhan dari sakit, air siraman supaya pernikahannya lancar dan langgeng.
Air ini tidak boleh digunakan untuk sumpah, perceraian atau air minum.
Umat dan pengunjung diperbolehkan mengambil air dari sumur dengan asistensi Bio Kong.
Sebelumnya umat buddha dan pengunjung harus menjelaskan keperluannya terlebih dulu agar air tersebut dapat didoakan oleh Bio Kong.
- Makam Kyai Djangkar, Tempat Pemujaan Kong Hu Cu dan Rumah Arwah Hoo Ping
Di gedung ini ada tiga tempat pemujaan sekaligus.
Paling kiri ada Makam Kyai Djangkar.
Dinamakan seperti itu karena di sinilah letak jangkar sekoci yang jatuh ketika armada Zheng He pertama datang ke Pulau Jawa.
Jangkar sekoci ini pertama kali ditemukan di Kali Kuping.
Sedangkan jangkar kapal utama jatuh di Rembang.
Banyak orang yang datang ke Makam Kyai Djangkar untuk meminta berkah baik untuk usaha maupun kerja.
Di tengah, ada tempat pemujaan untuk pendiri agama Kong Hu Cu.
Posisinya mengambil porsi paling besar.
Kemudian di sisi paling kanan ada Rumah Arwah Hoo Ping.
Arwah Hoo Ping adalah arwah orang meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya.
Mereka ditampung di sini untuk didoakan.
Arwah Hoo Ping diperingati tiga kali dalam setahun yakni sehari sebelum Imlek, saat Ceng Beng dan saat upacara Ulambama (Jit Gwee).
- Tempat Nyai Cundrik Bumi
Dulunya, area ini dijadikan tempat penyimpanan dan perawatan pusaka.
Di sini juga merupakan tempat gua lama berada sebelum dipindahkan karena longsor.
Sekarang di sini hanya menjadi simbolisasi saja.
Sudah tidak ada lagi pusaka yang tersisa di sini.
- Tempat Kyai Nyai Tumpeng (Juru Masak)
Kyai Nyai Tumpeng adalah juru masak Zheng He.
Nama aslinya Han Li Bao, putri dari Tiongkok yang diboyong oleh Zheng He untuk membantu memasak di kapal.
Dulunya ini tanah biasa.
Sampai ketika ada seorang suhu yang datang untuk sembahyang dan kerasukan.
Ia menyebut-nyebut “Tumpeng! Tumpeng!”.
Maka yayasan membuatkan tempat ini sebagai penghormatan terhadap Han Li Bao.
Baca juga: 5 Kuliner Legendaris di Semarang, Ada Lumpia Gang Lombok yang Usianya Lebih dari 100 Tahun
Baca juga: 5 Nasi Goreng Enak di Semarang Buat Makan Malam, Ada Nasgor Padang Bangjo dengan Bumbu Rempah Khas
Baca juga: Terbaru, Harga Tiket Masuk Dusun Semilir Semarang Berlaku Mulai Januari 2021
Baca juga: Tarif Mulai Rp 100 ribuan, 5 Hotel Murah di Semarang untuk Liburan Akhir Pekan
Baca juga: Ong Eng Hwat, Kue Keranjang Legendaris dari Semarang yang Dibungkus Daun Pisang
(TribunTravel.com/ Ratna Widyawati)