TRIBUNTRAVEL.COM - Objek wisata religi bersejarah di Yogyakarta cukup banyak. Satu diantara dalah Masjid Gede Mataram Kotagede.
Masjid yang terletak di pusat aktivitas masyarakat di Kotagede Yogyakarta ini menjadi salah satu saksi sejarah bagaimana Islam berkembang di Yogyakarta.
Masjid ini memang tak lepas dari sejarah kehidupan Keraton Yogyakarta hingga saat ini.
Di lihat dari arsitektur bangunan, beberapa bagian bangunannya identik dengan bangunan Keraton Yogyakarta.
Masjid ini sudah menjadi salah satu destinasi wisata bersejarah yang wajib dikunjungi bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak bagaimana sejarah perkembangan Islam di Yogyakarta.
Bila Ramadan tiba masjid ini selalu dipenuhi jamaah baik untuk menunaikan ibadah wajib maupun kegiatan lain seperti kajian, buka bersama selama Ramadan.
Salat tarawih juga diadakan dua kali di masjid ini, yakni sehabis Isya dan tengah malam.
Warisman, salah satu Takmir Masjid Gede Mataram Kotagede berbagi cerita soal sejarah masjid ini.
Wilayah ini dahulunya berupa hutan yang bernama alas Mentaok.
Hadi Wijoyo selaku Raja di Kerajaan Pajang memberikannya kepada Ki Ageng Pemanahan karena berhasil mengalahkan Adipati Aryo Penangsang.
"Pada tahun 1587 M masjid ini didirikan oleh Panembahan Senopati Sutowijaya. Sebelum masjid ini dibangun, sang ayah, Ki Ageng Pamenahan berikhtiar ingin menyiarkan
agama Islam di wilayah Jawa bagian selatan yang pada masa itu belum mengenal Islam," ujar Warisman.

Sebelumnya, berbekal tekad ingin syiar, berangkatlah Ki Ageng Pemanahan ke Alas Mentaok.
Sesampainya di alas lalu ia mendirikan sebuan langgar.
Perjuangan menyiarkan Islam tersebut kemudian diteruskan oleh putranya Panembahan Senopati Sutowijya.
Melihat arsitektur bangunan Masjid terutama di bagian gerbang masjid, maka akan mendapati motif bangunan yang lazim ditemui di sebuah pura milik umat Hindu.
Dijelaskan Warisman, perpaduan gaya arsitektur bangunan Masjid ini memang tak lepas dari peran serta masyarakat penganut agama Hindu kala itu.
"Sebelum sampai alas Mentaok, rombongan Ki Ageng Pemanahan singgah di wilayah Prambanan yang merupakan pusat pemeluk Hindu kala itu. Lalu, sebagian masyarakat di sana
ikut ke Alas Mentaok turut membantu pembangunan Masjid," terang Warisman.
Di gerbang masjid ini akan ditemui pahatan kepala raksasa yang lazim ditemui dalam arsitektur bangunan Hindu.
Sejarahnya memang dibantu masyarakat yang waktu itu memeluk Hindu.
Warisman menuturkan, secara keseluruhan pembangunan Masjid ini dibagi menjadi dua tahap pembanguan.
Tahap pertama berupa pembangunan ruang inti masjid yang dibangun oleh Panembahan Senopati, dan pembangunan Serambi Masjid oleh Sultan Agung.
"Selain membangun serambi Sultan Agung juga membangun jagang, yakni kolam yang mengelilingi masjid," kata Warisman.
Fungsi jagang ini adalah tempat untuk mencuci kaki agar setiap orang yang memasuki masjid bersih dan terbebas dari kotoran.
Selanjutnya, bila masuk ke ruang inti, maka akan terlihat desain unik atapnya.

Di dalam masjid terdapat Bedug yang diberi nama Kyai Dondong dan Mimbar yang umurnya sama degan Masjid Gede Mataram Kotagede.
Tradisinya, setiap menjelang masuk Ramadan, bedug akan ditabuh bertalu talu sebagai penanda bahwa akan masuk bulan puasa.
Atap masjid ini disebut atap tumpuk dua dengan mustoko berbentuk gada dan ditopang dengan empat tiang.
Gada tersebut melambangkan sahadat dan keempat tiang melambangkan salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan mustoko dan keempat tiangnya melambangkan rukun Islam.
Bahan kayu yang digunakan untuk pembangunan masjid ini adalah kayu jati berasal dari Blora dan Cepu.
Meski sudah berusia ratusan tahun namun Kayu kayu tersebut masih kuat menopang hingga saat ini.
Selain kayu yang masih asli, tembok dan struktur bangunan Masjid tersebut masih sama dengan bentuk aslinya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Masjid Gede Mataram Kotagede Yogyakarta Bermula dari Langgar di Alas Mentaok