TRIBUNTRAVEL.COM - Setelah gempa mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah (28/9/2018), warga dikejutkan dengan fenomena aneh munculnya lumpur mengalir di bawah rumah.
Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat rumah dan pepohonan seolah hanyut terbawa lumpur.
Video tersebut langsung menjadi viral hingga mendapat tanggapan dari para ahli.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam akun twitternya menyebut fenomena ini adalah likuifaksi.
Likuifaksi dialami beberapa daerah termasuk Kelurahan Petobo.
Dalam postingan di Twitternya 30 September 2018 lalu, Sutopo mengatakan munculnya lumpur dari permukaan tanah yang menyebabkan bangunan ambles di Kabupaten Sigi adalah fenomena likuifaksi (liquefaction).
• Terungkap! Tsunami Terjang Teluk Palu Hanya 8 Menit Setelah Gempa Bumi
Apa itu likuifaksi?
"Likuifaksi adalah tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan," jelas Sutopo pada cuitan di Twitternya.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Rovicky Dwi Putrohari, ahli geologi dan anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Menurut Rovicky, yang terjadi dalam video tersebut adalah likuifaksi yang memicu longsoran.
"Likuifaksi hanya satu dugaan," kata Rovicky, dikutip dari Kompas.com, Kamis (4/10/2018).
• Dampak Kerusakan Gempa dan Tsunami Palu Dilihat dari Citra Satelit yang Dirilis LAPAN
Pada 1 Oktober 2018, Sutopo kembali memposting video detik-detik rumah bergerak dan roboh akibat proses likuifaksi dan amblesan akibat gempa 7,4 SR di Kota Palu.
Sutopo menyebutkan, likuifaksi merupakan proses geologi yang mengerikan sehingga diperkirakan korban terjebak di daerah ini.
Menurut para ahli, daerah yang terkena gempa pada hari Jumat (28/9/2018) memang rawan terjadi likuifaksi karena lapisan tanah yang tergetarkan adalah susunan tanah berpasir.
Tanah berpasir biasanya mudah bersentuhan dengan air.
Likuifaksi dapat terjadi jika terdapat material lepas berupa pasir dan lanau yang berada di bawah muka air tanah yang memungkinkan ruang pori antar butir terisi air.
• Update Gempa dan Tsunami di Palu dan Donggala 3 Oktober 2018, Pengungsi Capai 70.821
Tanah yang terlikuifaksi tidak dapat menahan berat beban di atasnya, baik itu lapisan batuan maupun bangunan.
Hal inilah yang mengakibatkan hilangnya kekuatan pondasi bangunan.
ESDM pun sudah melakukan penelitian terkait likuifaksi di beberapa tempat, termasuk Sulawesi Tengah.
Sebagian wilayah Indonesia yang berada di daerah Cincin Api Pasifik memungkinkan terjadinya likuifaksi.
Ancaman kerusakan bangunan akibat likuifaksi bisa jadi lebih parah dari tsunami.
Dijelaskan oleh Rifai Mardin, dosen teknik arsitektur di Universitas Tadulako, Palu, "bangunan yang hancur kebanyakan karena tsunami dan likuifaksi."
Rifai menjelaskan, ada sejumlah tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi dampak buruk likuifaksi, misalnya meminimalisir penggunaan lahan permukiman di kawasan-kawasan rawan.
"Kalau sudah mengenal potensi bencananya, harus melakukan antisipasi di perencanaan," tutur dia.
Sebenarnya studi mengenai likuifaksi pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu.
Namun hasil studi ini belum sempat disosialisasikan kepada masyarakat.
Indonesia pun bisa belajar dari negara lain, misalnya Jepang dalam menghadapi kemungkinan terjadinya likuifaksi terkait pemetaan rencana tata ruang kota.
Di Jepang, likuifaksi pernah terjadi saat gempa tahun 1964 mengguncang Nigata dan gempa tahun 1995 di Hanshin.
TribunTravel.com/rizkytyas